Toxic Positivity: 5 Alasan Mengapa Positif Berlebihan Justru Berbahaya

Redaksi 2 15 Jan 2025

Toxic positivity adalah pandangan atau sikap yang mendorong seseorang untuk selalu berpikir positif, meskipun dalam kondisi yang sulit atau penuh tantangan. Meskipun memiliki niat baik untuk meningkatkan semangat dan optimisme, toxic positivity justru bisa merugikan karena tidak memberi ruang bagi perasaan negatif.

Menganggap hanya ada satu cara yang benar untuk merespon perasaan dan situasi, yaitu dengan sikap positif yang berlebihan, nantinya akan mengarah pada penekanan emosi yang seharusnya diproses dengan sehat.

Yang perlu kita sadari adalah kehidupan tidak selalu berjalan mulus, dan perasaan negatif seperti kesedihan, kecemasan, atau kekecewaan adalah bagian dari pengalaman manusia yang wajar. Ketika seseorang terus-menerus didorong untuk berpikir positif tanpa diberi ruang untuk merasakan dan mengatasi emosi tersebut, mereka beresiko mengalami gangguan kesehatan mental seperti stres, kecemasan, hingga depresi.

Berikut alasan mengapa sikap positif berlebihan bisa berbahaya.

1. Mengabaikan Perasaan Asli

Toxic positivity mendorong individu untuk menekan atau mengabaikan perasaan negatif demi mempertahankan sikap positif. Misalnya, seseorang yang sedang merasakan kesedihan atau kekecewaan mungkin merasa terpaksa untuk berpikir “semuanya akan baik-baik saja” atau “bersyukurlah, masih banyak yang lebih buruk di luar sana”.

Meskipun niatnya mungkin baik, pendekatan ini tidak memberi kesempatan untuk merasakan dan mengatasi emosi negatif tersebut. Padahal, perasaan seperti kesedihan, kecemasan, atau kekecewaan adalah respons alami terhadap situasi sulit, dan mengabaikannya justru bisa memperburuk keadaan dalam jangka panjang dan menghambat proses penyembuhan atau pemulihan.

Proses emosional yang sehat melibatkan pengakuan terhadap perasaan yang ada, bukan penolakan terhadapnya. Jika seseorang terus-menerus dipaksa untuk berpikir positif dan menghindari perasaan negatif, mereka mungkin akhirnya menekan emosi tersebut hingga menyebabkan stres kronis atau masalah kesehatan mental lainnya.

Sebaliknya, mengizinkan diri untuk merasa, menangis, atau bahkan marah dalam situasi yang penuh tekanan bisa menjadi langkah penting dalam pemulihan dan pertumbuhan pribadi.

2. Meningkatkan Stres dan Kecemasan

Toxic positivity seringkali menempatkan tekanan ekstra pada seseorang untuk selalu merasa bahagia, meskipun mereka sedang menghadapi tantangan hidup. Ketika seseorang merasa bahwa mereka harus selalu positif, mereka mulai merasakan kecemasan karena tidak bisa memenuhi standar ini.

Hal tersebut menciptakan rasa kegagalan yang mendalam ketika seseorang merasa tidak mampu mempertahankan optimisme di tengah situasi yang sulit. Kecemasan ini bisa semakin intens karena mereka merasa ada yang salah dengan diri mereka jika tidak selalu dapat berpikir atau merasa positif.

3. Menyebabkan Penundaan dalam Penyelesaian Masalah

Fokus yang berlebihan pada berpikir positif dapat mengalihkan perhatian seseorang dari masalah yang perlu diatasi. Daripada melihat masalah secara objektif dan mencari solusi yang praktis, seseorang yang terlalu fokus pada sisi positif mungkin cenderung menunda atau bahkan menghindari penyelesaian masalah. Misalnya, dalam menghadapi kesulitan keuangan atau masalah hubungan, seseorang yang terjebak dalam sikap positif mungkin berpikir “semua akan baik-baik saja” tanpa melakukan langkah-langkah konkret untuk memperbaiki situasi mereka.

Hal ini berbahaya karena masalah yang terabaikan hanya akan berkembang menjadi lebih besar dan lebih kompleks seiring waktu. Menghadapi masalah dengan cara yang jujur dan realistis jauh lebih efektif daripada terus-menerus menekankan pentingnya sikap positif yang berlebihan.

Ketika kita memberi diri kita izin untuk merasakan perasaan negatif dan menghadapinya dengan cara yang sehat, kita bisa lebih siap untuk mengambil tindakan yang tepat dalam menyelesaikan masalah tersebut.

4. Membuat Orang Lain Merasa Tidak Dipahami

Toxic positivity dapat memengaruhi hubungan sosial seseorang karena seringkali mengabaikan perasaan orang lain. Misalnya, jika seseorang berbagi perasaan kesedihan atau frustrasi, dan respon yang diterima hanya berupa nasehat seperti “Cobalah untuk tetap positif” atau “Ada banyak orang yang lebih buruk kondisinya”, mereka mungkin merasa tidak dihargai atau tidak dipahami.

Sebaliknya, dalam hubungan yang sehat, sangat penting untuk menunjukkan empati dan memberikan dukungan emosional yang sesungguhnya. Membiarkan seseorang untuk berbicara tentang perasaan mereka tanpa menghakimi atau memaksakan pandangan positif bisa membuat mereka merasa lebih dihargai dan didengar.

5. Menyebabkan Isolasi Emosional

Ketika seseorang merasa bahwa mereka harus selalu berpikir positif, mereka bisa merasa malu atau takut untuk mengungkapkan perasaan negatif kepada orang lain. Ketakutan untuk dianggap negatif atau tidak cukup optimis bisa menyebabkan mereka menahan emosi, yang pada akhirnya menciptakan rasa isolasi emosional. Mereka mungkin merasa tidak bisa berbagi tantangan yang dihadapi karena takut dihakimi atau dikritik.

Isolasi emosional ini bisa sangat berbahaya bagi kesehatan mental seseorang, karena manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang membutuhkan dukungan dan koneksi emosional. Tanpa dukungan tersebut, seseorang bisa merasa terasing, kesepian, dan semakin tertekan.