Daddy Issue Nyatanya Mampu Memberikan Dampak Terhadap Hubungan Percintaanmu
(Kisah ini berdasarkan dari penulis Cosmopolitan India)
Hubungan pertamaku di usia 20 tahun benar-benar berantakan, meskipun saat itu aku nggak sadar. Dengan segala optimisme naif tentang cinta, aku jatuh hati pada seseorang yang memberi perhatian sekadarnya—cukup untuk bikin aku terus bertahan. Dia cuek secara emosional, jarang terbuka, dan selalu membuatku bertanya-tanya soal status hubungan kami. Tentu saja, aku meyakinkan diri kalau aku bisa "memperbaiki" dia. Baru setelah putus secara dramatis, aku sadar kalau aku punya tipe: cowok yang secara emosional nggak tersedia dan cuma ngasih effort minimal. Hot, kan?
Aku nggak butuh terapis buat menyadari pola ini. Tumbuh besar dengan sosok ayah yang semakin lama semakin menjauh dari hidupku selama masa sekolah, ternyata membentuk caraku memandang cinta. Tanpa kusadari, aku bertahun-tahun tertarik pada cowok dengan pola emosional yang sama seperti yang aku alami di rumah. Hubungannya begitu jelas—jauh di lubuk hati, aku percaya bahwa cinta harus diperjuangkan dengan susah payah dan validasi adalah sesuatu yang selalu sulit untuk diraih.
Istilah "daddy issues" mungkin terdengar seperti sekadar buzzword, tapi sebenarnya ada akar psikologis yang lebih dalam. Menurut Urban Dictionary, istilah ini menggambarkan kondisi ketika seorang perempuan memiliki hubungan yang rumit dengan ayahnya, entah karena ayahnya pergi atau bersikap buruk. Akibatnya, perempuan tersebut bisa jadi tertarik pada pria yang lebih tua atau punya masalah emosional, seperti mudah marah—terutama jika sang ayah menunjukkan perilaku serupa. Kadang-kadang, perempuan dengan daddy issues bahkan bertahan dalam hubungan yang toksik karena percaya bahwa cinta memang seharusnya seperti itu. Perilaku ini berasal dari pengalaman masa kecil yang akhirnya muncul di kehidupan dewasa dalam bentuk yang nggak selalu mudah dikenali.
Psikolog Vedika Sukhatme menjelaskan, "Gaya attachment yang terbentuk sejak kecil akan memengaruhi cara kita merespons secara emosional dalam hubungan. Jika seorang anak kurang mendapatkan dukungan emosional yang konsisten, terutama dari figur ayah, mereka mungkin mengembangkan attachment style yang cenderung cemas atau menghindar saat dewasa." Inilah yang membuat seseorang tanpa sadar terus mencari pasangan yang juga secara emosional nggak tersedia, karena mereka sudah terbiasa dengan hubungan minim validasi.
Jarak dan ketidaktersediaan emosional yang aku alami dalam hubunganku mencerminkan hubungan yang aku alami sejak kecil. Saat itu aku nggak sadar bahwa ini bukan hanya tentang keinginan untuk "memperbaiki" seseorang, tapi lebih ke arah mengulang pola hubungan yang sudah familiar bagiku. Aku percaya bahwa cinta harus diperjuangkan dan didapatkan dengan usaha keras.
Sebanyak apa pun kita ingin percaya bahwa kita bebas menentukan pilihan romantis, teori attachment membuktikan bahwa pengalaman masa kecil kita sangat memengaruhi preferensi dalam cinta. Sukhatme menegaskan, "Pikiran bawah sadar kita sangat dipengaruhi oleh cara kita diperlakukan oleh orang tua, dan ini yang mengarahkan kita pada pasangan yang mengisi celah emosional dari masa kecil—meskipun kita nggak sadar."
Bagi mereka yang tumbuh dengan ayah yang cuek, sering kali ada keyakinan bahwa cinta itu sulit dicapai atau dipertahankan. Hal ini bisa menyebabkan pola berulang dalam memilih pasangan yang emosionalnya jauh, di mana cinta terasa sulit diraih, tapi justru kesulitan itulah yang terasa familiar dan nyaman. Pola ini biasanya baru disadari setelah dampak emosionalnya nggak bisa diabaikan lagi.
Mengenali Pola yang Salah
Kunci untuk keluar dari pola hubungan yang nggak sehat adalah dengan meningkatkan kesadaran diri. Memahami bahwa ketertarikan pada pasangan yang emosionalnya nggak tersedia bukanlah cerminan dari nilai diri kita, melainkan usaha bawah sadar untuk menyembuhkan luka lama, adalah langkah pertama menuju hubungan yang lebih sehat. Sukhatme menyarankan, "Bagian penting dari penyembuhan adalah belajar mengenali pola ini—apakah kamu cenderung tertarik pada pasangan yang cuek atau selalu berusaha terlalu keras untuk orang lain—dan mulai memilih pasangan yang bisa memberikan dukungan emosional yang seimbang."
Bagi siapa pun yang merasa terjebak dalam pola hubungan yang nggak sehat, terapi bisa jadi solusi ampuh untuk memutus siklus ini. Terapi bisa membantu menyelesaikan perasaan abandonment, penolakan, dan ketidakamanan yang belum selesai, serta membangun attachment style yang lebih sehat. Seperti yang Sukhatme katakan, "Terapi membantu seseorang membangun narasi di mana nilai diri mereka nggak bergantung pada validasi eksternal atau usaha memperbaiki orang lain. Ini tentang belajar untuk hadir secara emosional bagi diri sendiri terlebih dahulu."
Menjaga Self-Worth dalam Hubungan
Seiring berjalannya waktu, peran self-worth dalam kehidupan cinta nggak bisa diabaikan. Bagi banyak orang, kurangnya figur ayah yang suportif sejak kecil bisa menimbulkan perasaan kurang percaya diri atau kebutuhan konstan untuk mencari validasi dari orang lain. Jika kita nggak belajar untuk menghargai diri sendiri, kita cenderung bergantung pada orang lain untuk mengisi kekosongan itu, yang akhirnya malah membuat hubungan jadi nggak seimbang dan melelahkan secara emosional.
Dalam proses penyembuhan, penting untuk belajar bagaimana membangun self-worth secara mandiri, tanpa bergantung pada pendapat atau kasih sayang orang lain. Sukhatme menyarankan, "Perjalanan menuju hubungan yang sehat dimulai dengan self-compassion. Dengan memahami penyebab ketidakamanan dalam attachment, kita bisa mulai mengalihkan fokus dari mencari validasi eksternal ke membangun rasa percaya diri dari dalam. Perubahan internal ini adalah kunci untuk menciptakan hubungan yang sehat di masa depan."
Sebagai seseorang yang pernah terjebak dalam pola ini, aku bisa membuktikan bahwa menyadari akar dari pola attachment kita bisa membawa perubahan besar. Ini memang bukan proses instan, tapi dengan menyadari pola tersebut dan bekerja untuk memperbaikinya, kita bisa memiliki hubungan yang lebih sehat. Penyembuhan emosional bukan hanya soal mencari pasangan yang bisa mengisi kekosongan dari figur ayah yang hilang, tapi tentang belajar mengisi kekosongan itu sendiri. Dengan begitu, kita bisa menjalani hubungan sebagai individu yang seimbang, siap memberi dan menerima cinta dengan cara yang sehat dan aman.
(Artikel ini disadur dari cosmopolitan.in / Perubahan bahasa telah dilakukan oleh penulis, Nadhifa Arundati / Image: Dok. Pexels by RDNE Stock project)