Mencari Pasangan dengan AI di tahun 2025, Memangnya Bisa?
Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) kini telah merambah hampir semua aspek hidup kita—mulai dari playlist musik, skincare routine, hingga... urusan cinta. Tapi pertanyaannya: apakah algoritma benar-benar bisa menggantikan chemistry?
Kita semua pernah merasakan betapa rumitnya dunia kencan modern. Mulai dari bad date, seseorang yang “tidak mencari sesuatu yang serius”, hingga momen ghosting untuk ketiga kalinya. Ya, mencari cinta di era digital memang tidak mudah. Dan ketika kamu berpikir aplikasi kencan tidak bisa lagi membuatmu terkejut, tiba-tiba “aturan mainnya” berubah lagi.
Jadi, mengapa tidak sekalian “mengalahkan” algoritma dengan caranya sendiri? Sekarang, banyak orang mulai memanfaatkan AI untuk mencari pasangan—bukan hanya berdasarkan penampilan atau bio yang lucu, tetapi dengan menganalisis kepribadian, kebiasaan, hingga preferensi unikmu untuk mencarikan seseorang yang truly gets you. Dari guilty pleasure sampai kebiasaan scrolling tengah malam, AI sebenarnya sudah memiliki gambaran cukup lengkap tentang siapa kamu.
Dari Playlist ke Pasangan Hidup
Kalau dipikir-pikir, kita sudah terbiasa mempercayakan banyak hal pada algoritma: dari apa yang kita tonton, lagu yang kita dengarkan, hingga outfit yang masuk ke shopping cart. Jadi, mengapa tidak untuk urusan cinta juga?
Teknologi selalu ikut berevolusi bersama cara kita berkenalan dan jatuh cinta. Dulu kita punya Orkut crush list dan Facebook poke, lalu datang era Tinder swipes dan Bumble dengan aturan “ladies first”. Kini, rasanya tidak bisa dihindari jika AI akan menjadi digital matchmaker berikutnya.
Mulai dari aplikasi yang menawarkan compatibility match, bot yang membantumu membuat opening line sempurna, sampai platform yang menganalisis kepribadianmu untuk memilihkan pasangan—pertanyaannya bukan lagi apakah AI akan memengaruhi kehidupan cintamu, tetapi seberapa besar kamu membiarkannya.
AI dan Gen Z: Jodoh Alami di Era Digital?
Bagi Gen Z, algoritma sudah seperti teman lama. Netflix tahu serial apa yang akan kamu tonton malam ini, Spotify bisa menebak suasana hatimu lewat lagu, dan Instagram paham betul reels mana yang akan kamu double-tap. Jadi, kehidupan cinta yang digerakkan oleh AI terdengar seperti langkah alami berikutnya.
Contohnya, Tinder kini menggunakan AI untuk memilih foto profil terbaikmu. Bumble sedang mengembangkan fitur yang otomatis memblokir gambar tidak pantas sebelum kamu melihatnya. Sementara Hinge tengah menguji fitur rekomendasi berbasis AI agar hasil match lebih akurat.
Aplikasi baru pun ikut berinovasi. Iris, misalnya, memakai teknologi AI vision untuk mempelajari tipe wajah yang kamu sukai, sedangkan Teaser AI memungkinkanmu mengobrol terlebih dahulu dengan versi AI dari calon match sebelum berbicara dengan orang aslinya.
Alih-alih sekadar swipe right dan bio lucu, fitur-fitur ini mencoba memahami lebih dalam—mulai dari nilai hidup, gaya mengirim pesan, hingga pola perilaku. Ibarat sahabat yang sudah tahu kamu menyukai tipe “golden retriever energy guy” atau “seniman misterius nan moody”, bahkan sebelum kamu menyadarinya sendiri.
Keuntungan Membiarkan AI Jadi “Cupid”
Kalau kamu pernah merasa lelah dengan ribuan profil di aplikasi kencan, kamu tahu betul betapa overwhelming-nya proses itu. Terlalu banyak pilihan bisa membuatmu mengalami decision fatigue. Well, AI hadir sebagai penyaring cerdas yang membantu mempersempit lingkaran pencarian—menyajikan daftar calon pasangan yang lebih terkurasi dan sesuai dengan vibe kamu.
Ada juga faktor keamanan. Aplikasi seperti Bumble sudah memanfaatkan AI untuk memblokir pelaku pelecehan, sementara beberapa platform lain sedang menguji fitur pendeteksi akun palsu. Bagi banyak perempuan, tambahan lapisan keamanan digital ini tentu menjadi nilai plus. Dan jika kamu sedang menyeimbangkan kerja, kuliah, pertemanan, olahraga, dan skincare routine, ide aplikasi yang bisa menghemat waktu kencan percobaan jelas terdengar menarik.
Tapi, Apakah Cinta Bisa Disederhanakan?
Sayangnya, cinta bukanlah rumus matematika. Rasa deg-degan, kejutan, dan kekacauan indah yang datang bersama cinta—itu semua tidak bisa diprogram. Terkadang kisah terbaik justru dimulai dari hal yang tak terduga, dengan seseorang yang sama sekali tidak sesuai dengan “tipe” hasil rekomendasi AI.
Terlalu percaya pada algoritma pun bisa berisiko. Jika aplikasi mengatakan seseorang adalah 96 persen match, apakah kamu akan menutup mata terhadap tanda bahaya karena “data bilang begitu”? Atau malah swipe left pada orang yang luar biasa hanya karena nilainya “hanya 40 persen”?
Tentang Privasi dan Batasan
Ada hal lain yang perlu diingat: agar AI bisa “mengenal” kamu dengan baik, ia membutuhkan akses besar ke datamu—mulai dari pesan pribadi, minat, hingga preferensi pribadi. Tidak semua orang nyaman membuka seluruh dunia emosionalnya kepada mesin, dan hal itu sepenuhnya wajar.
Kesimpulannya: AI Adalah Alat, Bukan Pengganti
AI mungkin bisa menjadi wingman digital yang cerdas—membuat proses kencan lebih efisien, aman, dan mungkin lebih terarah. Namun cinta sejati? Rasa yang tak bisa dijelaskan, getaran tak terduga, dan momen “klik” yang muncul begitu saja—itu tetap wilayah manusia.
Jadi, apakah kamu siap membiarkan AI memilih siapa pasanganmu?
Mungkin iya, mungkin tidak. Tapi satu hal pasti: dunia kencan terus berevolusi, dan algoritma akan selalu ada di dalamnya.
(Artikel ini disadur dari cosmopolitan.in / Perubahan bahasa telah dilakukan oleh penulis, Nadhifa Arundati / Image: Dok. Outnow.Ch)