Kenapa Perempuan Sering Merasa Harus “Sempurna”? Ini Fakta Psikologisnya

Redaksi 2 21 Oct 2025

Pernah nggak sih kamu merasa nggak cukup meski sudah melakukan yang terbaik? Rasanya seperti ada standar tak terlihat yang terus menekan dari berbagai arah. Tubuh harus ideal, karier harus cemerlang, hubungan harus harmonis, dan wajah harus selalu segar. Tekanan ini membuat banyak perempuan hidup dalam perasaan bersalah dan takut gagal, bahkan ketika mereka sebenarnya sudah berjuang dengan luar biasa.

Faktanya, dorongan untuk “sempurna” bukan muncul tiba-tiba. Ia dibentuk oleh lingkungan sosial, media, dan budaya yang menanamkan citra tertentu tentang bagaimana perempuan seharusnya terlihat dan berperilaku. Tapi apa yang sebenarnya terjadi di balik kebutuhan untuk selalu tampak sempurna ini? Yuk, kita telusuri lebih dalam.

1. Tekanan Sosial dari Media dan Budaya Pop

Media sering kali menampilkan perempuan dengan standar kecantikan yang nyaris mustahil dicapai seperti kulit mulus, tubuh proporsional, dan kehidupan yang tampak ideal. Menurut penelitian dalam Journal of Social and Clinical Psychology (Fardouly et al., 2015), paparan citra “sempurna” di media sosial terbukti meningkatkan rasa tidak puas terhadap diri sendiri dan mendorong perilaku perfeksionistik pada perempuan. Kamu pun bisa merasa tertinggal hanya karena membandingkan diri dengan potret yang sudah disunting dengan sempurna.

2. Perfeksionisme Sebagai Bentuk Kontrol

Bagi sebagian perempuan, menjadi “sempurna” adalah cara untuk merasa aman. Perfeksionisme bisa jadi bentuk kontrol di tengah dunia yang tidak pasti. American Psychological Association menyebut bahwa perempuan cenderung mengaitkan kesempurnaan dengan nilai diri, misalnya merasa baru pantas dicintai atau dihargai ketika semua hal berjalan sempurna. Padahal, rasa cukup justru tumbuh saat kamu berani menunjukkan sisi rentanmu.

3. Pola Didikan dan Ekspektasi Sejak Kecil

Banyak perempuan tumbuh dengan pesan implisit seperti “anak perempuan harus sopan, terlihat cantik, pintar, dan tidak boleh malas”. Pola ini tanpa sadar membentuk kebutuhan konstan untuk menyenangkan orang lain. Studi dalam Personality and Individual Differences Journal (2020) menyebut bahwa tekanan untuk memenuhi ekspektasi sejak kecil berkorelasi dengan tingkat stres dan burnout di usia dewasa. Jadi, kadang perfeksionisme itu bukan keinginanmu, tapi warisan dari pola yang ditanamkan sejak lama.

4. Rasa Takut Akan Penolakan

Kamu mungkin sering merasa perlu tampil sempurna agar tidak ditinggalkan oleh pasangan, rekan kerja, atau lingkungan sosial. Rasa takut akan penolakan inilah yang membuatmu terus memperbaiki diri tanpa jeda. Padahal, menurut psikolog Brené Brown, kerentanan justru yang menghubungkan manusia satu sama lain. Semakin kamu menerima ketidaksempurnaanmu, semakin besar ruang bagi orang lain untuk mencintaimu apa adanya.

5. Menemukan Damai dalam Ketidaksempurnaan

Kamu tidak harus selalu menjadi versi ideal dari ekspektasi siapa pun. Belajar mencintai diri bukan berarti berhenti berkembang, tapi berhenti menyiksa diri demi pengakuan. Ketika kamu mulai menerima bahwa setiap ketidaksempurnaan juga bagian dari keindahanmu, di situlah kamu benar-benar bebas. Karena kenyataannya, perempuan yang “sempurna” bukanlah yang tak pernah gagal, tapi yang tetap lembut pada dirinya sendiri meski dunia menuntut sebaliknya.

Jadi, kalau kamu pernah bertanya-tanya kenapa perempuan sering merasa harus sempurna, ingatlah kamu bukan kurang, kamu hanya terlalu lama diajarkan untuk meragukan dirimu sendiri yang sebenarnya sudah sangat luar biasa.