Fenomena ‘Retail Therapy’: Saat Diskon Jadi Obat Stres
Pernah merasa hatimu tiba-tiba membaik setelah belanja sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu dibutuhkan? Entah itu lipstik baru, baju dengan warna cerah, atau sekadar camilan kekinian yang muncul di beranda toko online. Fenomena ini dikenal sebagai retail therapy, ketika berbelanja dijadikan pelarian singkat dari stres, bosan, atau perasaan tidak berdaya.
Menariknya, perasaan lega setelah belanja bukan ilusi. Secara psikologis, aktivitas membeli sesuatu dapat memicu dopamin, hormon yang berkaitan dengan rasa senang dan puas. Tapi, seperti gula dalam kopi, terlalu banyak bisa bikin efeknya justru berbalik arah. Yuk kenali lebih dalam sisi emosional di balik fenomena ini agar kamu bisa tetap bahagia tanpa terjebak siklus stres-belanja-stres lagi.
1. Belanja dan Rasa Kendali yang Kembali
Menurut penelitian Journal of Consumer Psychology (2020), kegiatan berbelanja memberikan ilusi kontrol pada seseorang yang merasa cemas atau kehilangan arah. Saat kamu memilih, membandingkan, lalu membeli, otak meresponsnya sebagai tindakan pengambilan keputusan, hal yang menumbuhkan kembali rasa kendali dalam hidup. Tak heran, belanja sering jadi pelarian saat emosi sedang tak stabil.
2. Dopamin: Hormon Bahagia dari Klik “Checkout”
Setiap kali kamu menambahkan barang ke keranjang atau melihat tulisan “pesanan berhasil dibuat”, otakmu melepaskan dopamin. Efek ini membuat kamu merasa lebih ringan dan bersemangat. Namun, dopamin bekerja cepat tapi efek bahagianya singkat. Jika tak disadari, kamu bisa terjebak mengulang proses itu demi sensasi sesaat.
3. Dari Self-Care ke Self-Sabotage
Ada perbedaan halus antara treat yourself dan escape yourself. Saat belanja menjadi satu-satunya cara membuatmu tenang, bisa jadi kamu sedang menumpuk masalah yang belum terselesaikan. Studi dari Psychology Today (2022) menunjukkan bahwa retail therapy berlebihan sering terkait dengan perasaan kesepian atau harga diri rendah.
4. Boleh Belanja, Tapi dengan Kesadaran
Bukan berarti kamu harus berhenti belanja sama sekali. Kuncinya adalah mindful spending, mengenali emosi sebelum menekan tombol “beli”. Tanyakan pada diri sendiri, “apakah aku benar-benar butuh ini, atau hanya butuh merasa lebih baik?” Dengan kesadaran ini, kamu tetap bisa menikmati sensasi belanja tanpa kehilangan kontrol.
5. Ganti Pelarian dengan Kebahagiaan yang Lebih Tahan Lama
Coba ganti kebiasaan belanja impulsif dengan aktivitas yang memberi rasa puas jangka panjang, seperti jalan pagi, journaling, menekuni hobi atau merawat diri. Aktivitas sederhana yang menumbuhkan rasa tenang dari dalam akan memberi efek yang lebih stabil dibanding belanja yang bersifat sementara.
Belanja bisa jadi cara yang menyenangkan untuk mengekspresikan diri, tapi kebahagiaan sejati tak seharusnya datang dari isi keranjang. Dengan mengenali fenomena retail therapy dan belajar mengelolanya, kamu bisa tetap menikmati diskon tanpa kehilangan kendali atas emosimu sendiri.