Soft Ghosting! Ketika Dia Tidak Menghilang, Tapi Juga Tidak Hadir

Redaksi 2 25 Nov 2025

Ada kalanya hubungan tidak berakhir dengan pertengkaran besar atau percakapan berat, melainkan dengan keheningan yang tidak pernah dijelaskan. Kamu masih melihat namanya muncul di notifikasi, tapi responsnya terasa dingin, tipis, dan tak lagi penuh perhatian. Tidak ada kata putus, tapi juga tidak ada komitmen untuk benar-benar hadir. Di titik inilah mungkin kamu mulai kebingungan antara bertahan atau melepaskan? Menunggu atau mundur?

Fenomena seperti ini dikenal sebagai soft ghosting, sebuah bentuk penarikan diri secara emosional di mana seseorang tidak benar-benar menghilang, tapi juga tidak terlibat sepenuhnya. Bentuknya bisa halus, seperti membalas pesan dengan emoji, merespons lama, hadir hanya saat nyaman, atau tiba-tiba menghindari obrolan mendalam. Dan meski terlihat ringan, efek emosionalnya bisa berat. Banyak penelitian, salah satunya dalam Journal of Social and Personal Relationships (2020), menyebut ketidakpastian seperti ini dapat meningkatkan stres emosional yang lebih besar daripada penolakan langsung.

Mengenali Pola Soft Ghosting

Soft ghosting sering dimulai dari hal-hal kecil seperti pesanmu dibalas ala kadarnya, perhatian yang dulu hangat berubah menjadi datar, atau ia tetap hadir di media sosial tapi menghindari interaksi pribadi. Kamu merasa seperti sedang berbicara dengan seseorang yang tubuhnya ada, tapi hatinya tidak. Pola ini semakin terlihat ketika kamu mulai merasa berjuang sendirian dalam percakapan atau hubungan. Dalam psikologi hubungan, pola ini dikategorikan sebagai avoidant distancing, di mana seseorang menjaga jarak untuk menghindari konflik atau kedekatan emosional.

Mengapa Soft Ghosting Bisa Menyakitkan?

Berbeda dengan ghosting yang jelas-jelas hilang tanpa jejak, soft ghosting menyakitkan karena ia menciptakan harapan sekaligus kebingungan. Kamu tahu dia masih ada, tapi tidak benar-benar tinggal. Studi dari Personality and Individual Differences (2019) menemukan bahwa ambiguitas dalam hubungan memicu respons stres yang lebih tinggi karena otak bekerja keras menebak-nebak situasi. Rasa tidak pasti inilah yang membuat soft ghosting terasa menguras emosi, bahkan ketika tidak ada kata perpisahan.

Ketika Kamu Terjebak Menunggu Sinyal

Soft ghosting membuatmu bertanya-tanya, “apakah dia masih peduli?” atau “apa aku yang terlalu sensitif?” Kamu akhirnya menunggu jawaban yang tidak pernah jelas, berharap suatu hari ia kembali seperti dulu. Padahal, menurut Journal of Experimental Psychology (2018), penantian tanpa kepastian menurunkan harga diri dan memicu perilaku overthinking. Kamu menjadi terlalu fokus pada interpretasi kecil, seperti emoji, waktu balas pesan, nada obrolan dan lain-lain, padahal tidak seharusnya kamu menanggung beban itu sendirian.

Memberi Batasan agar Tidak Rugi Emosi

Salah satu langkah penting menghadapi soft ghosting adalah menetapkan batasan. Kamu berhak menentukan sejauh apa kamu mau menunggu, dan kapan kamu perlu menarik diri demi kesehatan emosimu. Batasi usaha yang kamu berikan ketika respons dari dia tidak seimbang. Dalam banyak riset tentang self-protection dalam hubungan, membatasi akses emosional terbukti membantu seseorang menjaga stabilitas emosi dan mengurangi rasa kecewa.

Pilih Diri Sendiri sebagai Jalan Keluar

Pada akhirnya, hubungan yang sehat adalah hubungan yang membuatmu merasa aman, bukan bingung. Jika seseorang hanya hadir separuh jalan, kamu tidak harus mengisi sisanya sendirian. Mengutamakan dirimu bukan egois, itu bentuk self-respect. Seperti yang disebut dalam Journal of Happiness Studies (2021), individu yang berani menutup pintu hubungan tidak pasti cenderung memiliki kesejahteraan emosional lebih stabil. Kamu pantas mendapatkan hubungan yang hadir sepenuhnya, bukan sambil lalu.