Maudy Ayunda Berbagi Cerita Soal Cinta dan Media Sosial

Alvin Yoga 20 Feb 2019

Intelek dan penuh talenta. Ada banyak hal yang bisa dipelajari dari sosok Maudy Ayunda. Di umur 24 tahun, ia sudah bisa menjadi mentor dan membuka scholarship untuk anak-anak muda yang ingin melanjutkan pendidikan. Tak hanya itu, ia juga mengambil alih kursi creative producer untuk album terakhirnya. Simak perbincangan Cosmo dengan Maudy mengenai karier, pelajaran cinta dan – oh, tahukah Anda mengenai – kegemarannya menonton serial drama Korea?


Hai Maudy, apa kabar? Ini bukan kali pertama kita bertemu, mengingat sudah beberapa kali Anda menyempatkan berbincang dengan Cosmo. Terakhir kali, kita banyak berbicara soal pendidikan. Kabarnya kini Anda sedang mengadakan mentorship program, ya?

Hai Cosmo, kabar baik tentunya. Bicara soal mentorship, program ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun lalu. Sejujurnya saya membuka dua program, mentorship dan scholarship untuk teman-teman yang mau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Pada awalnya, saya tidak menyangka akan ada begitu banyak orang yang mendaftar untuk program tersebut. Tadinya saya membayangkan hanya akan menjadi mentor untuk 10 anak saja. Namun dengan adanya begitu banyak aplikasi yang masuk – hingga lebih dari 1000 – dan saya sangat terkesan dengan esai yang mereka buat, akhirnya saya memutuskan untuk menjadi mentor bagi 34 orang. Semoga dengan program mentor ini, anak-anak tersebut bisa semakin memaksimalkan “suara” mereka di kampus yang mereka pilih nantinya.


Apa yang sebenarnya membuat Anda terinspirasi untuk membuat mentorship program itu?

Saya pernah berada dalam sebuah momen di mana saya merasa bahwa industri yang saya jalani saat ini mengharuskan saya untuk menjadi seorang vocal point. And also I didn’t feel like I was giving back to people as much. Dari sinilah saya merasa ingin melakukan sesuatu, termasuk membangun hubungan dengan anak-anak muda yang memiliki tujuan lebih. Dari yang tadinya saya tak bisa berkontribusi secara langsung, kini saya bisa berbicara langsung dengan mereka yang punya cita-cita luar biasa.


Apakah Anda membiayai program tersebut sendiri?

Yes, personally initiated and funded. Saya percaya dengan kontribusi langsung – termasuk dengan energi, waktu dan usaha – seperti ini, hasilnya pasti jadi lebih baik. 


Sejauh ini, apa pengalaman paling inspiratif yang Anda dapatkan dari program mentorship tersebut?

Sebetulnya pengalaman paling inspiratif adalah ketika proses pemilihan anak-anak ini. Saya membaca aplikasi mereka satu persatu, dan dari hal ini saya mendapat banyak insight soal pendidikan di Indonesia. Semisal, ada seorang anak yang mendapat nilai sekian untuk ujian SMAnya. Awalnya saya pikir nilai ini bukanlah nilai yang tinggi. Namun yang mengejutkan adalah rata-rata UAN di Indonesia ternyata masih cukup rendah, dan dibandingkan dengan nilai rata-rata tersebut, nilai anak tersebut sebenarnya sudah cukup memuaskan. Hal ini yang kemudian jadi perhatian saya – that we’re not doing very well, even in our own tests. The good thing is, these kids are very promising. Saya belajar banyak dari mereka. Cara berpikir mereka sangat linear, mereka tahu apa yang ingin mereka lakukan, jurusan apa yang akan mereka pilih, serta apa kontribusi mereka untuk negara nantinya. Bangga!



Anda dikenal sebagai sosok yang cerdas dan inspiratif bagi anak muda - belum lagi dengan sederet prestasi yang Anda dapatkan. Apa ini juga menghadirkan perasaan tertekan karena harus "membuktikan lebih"?

Tentu ada. Sebagai seorang yang pernah mengambil pendidikan di luar, ekspektasi banyak orang adalah saya bisa berkontribusi lebih untuk negara ini. But I dont let it go to me too much. Everyone has their own process. Saya takut hal ini justru akan membuat saya jadi mudah cemas. Maksud saya, dengan adanya media sosial, orang-orang kini gampang terkena social anxiety karena banyaknya tekanan dari luar. And yes, suddenly people’s perspective start to matter so much. Everything measured by likeability – how many likes you get, how many viewers you have. Ada satu kasus, ketika saya berkata bahwa saya ingin pergi olahraga, teman saya berkata, “Hah? Tapi kamu kan enggak pernah olahraga?” Bukan berarti ketika saya tidak pernah mengunggah foto bahwa saya sedang berolahraga, maka saya tidak pernah olahraga. Can you imagine that? The power of social media? Basically, if you don’t take a picture of it, it doesn’t happen in the minds of other people.


'..'


Jika Anda memiliki masalah dalam hal relationship, biasanya siapa yang Anda hubungi?

My sister. Dia lebih muda dari aku, tapi dia logis dan suportif sekali. Dia bisa berkata, “Di kasus ini, kamu yang salah sih, kak,” - di saat temanku yang lain justru membela posisiku ketika aku sedang curhat. Meski kesal mendengarnya, saya tahu dia memberi perspektif yang tepat. Ia orang yang straightforward, tapi itu yang saya butuhkan kalau sedang punya masalah.


What’s the best lesson you’ve learnt from love?

Love is work. It supposed to come effortlessly, namun setelah saya mencoba long distance relationship dan menjalani long term relationship, I learn that love is really meeting halfway. Semua orang pasti akan mengalami momen-momen di mana salah satunya akan merasa bosan dengan hubungan tersebut. But really it’s up to you to work on it again. So yes, love requires effort.




Terakhir kali kita bertemu, Anda sangat menikmati serial drama Korea, dan tak banyak yang tahu kegemaran Anda tersebut.

Hahaha. Serial terakhir yang saya tonton adalah What’s Wrong with Secretary Kim. Sejujurnya saya tidak seobsesif itu. Sehabis menikmati satu serial, saya tidak lanjut menonton serial lain – because I'm traumatized by how much time it drains. Saya takut jadi terlalu obsesif dan akhirnya stuck in that loop.


Sejauh ini apa drama Korea yang paling Anda favoritkan?

It’s always the last one. Tapi serial pertama yang membuat aku jatuh cinta dengan serial Korea adalah The Heirs. Dan anehnya, yang mengenalkan aku dengan serial Korea adalah temanku, seorang Meksiko, ketika aku masih kuliah di Oxford.


Kalau boleh bermain K-Drama, siapa aktor yang ingin Anda jadikan lawan main?

Siapa nama pemain Descendants of the Sun? Ah, Song Joong-ki! Dia lucu banget.


Mari bicara soal hidup Anda, what’s the hardest stage of your life?

Mungkin selama masa SMA dan kuliah ketika aku harus melakukannya sambil berkarier. Di saat-saat ini saya memiliki banyak keputusan yang harus dibuat, and I just try to balance everything. Terlebih lagi saya harus bolak-balik Inggris-Indonesia. Dari sini saya belajar untuk membuat prioritas, dan memilih aktivitas yang memang ke depannya penting untuk saya. Kalau dipikir-pikir lagi, masa-masa tersulit saya tersebut sebenarnya masa-masa paling produktif dalam hidup saya.


Terakhir, sebagai salah satu panutan bagi kaum perempuan milenial, adakah yang ingin Anda sampaikan bagi kaum perempuan di usia 20an?

Be independent, and try to finding ourselves in our identity. Jangan pernah melakukan sesuatu, seperti menikah atau bekerja di suatu bidang, hanya karena terpaksa. Saya merasa bahwa banyak perempuan dengan umur yang kurang lebih sama sepertiku, mendapat banyak paksaan dari luar. This is really the time for self-care and self-exploration, so cherish this time. When you get older, things will not be as easy as now.


(Alvin Yoga / FT / Image: Dok. Cosmopolitan / Ilustrasi: Severinus Dewantara)