Wawancara dengan Rachel Amanda: Aksi Gen Z untuk Women Empowerment
ICYMI, beberapa waktu lalu, Cosmo berkesempatan untuk berbincang bersama Rachel Amanda dalam sebuah sesi IG Live, untuk memperingati bulan Maret yang didedikasikan untuk perempuan, mengingat kita merayakan Hari Perempuan Internasional sampai Women’s History Month secara anual. Aktris muda tanah air ini pun angkat bicara tentang kekuatan perempuan serta menjadi perempuan yang berdaya di era modern ini, terlebih bagi Gen Z yang penuh aksi. We’re inspired, and we bet you’ll be too. Simak wawancaranya berikut ini!
Pertama-tama, bagaimana cara kamu memaknai dan merayakan momen yang didedikasikan untuk perempuan ini, seperti Hari Perempuan Internasional dan Women’s History Month?
Saya pribadi memaknai Hari Perempuan Internasional sebagai waktu untuk saling menghargai pencapaian satu sama lain, menghargai posisi perempuan, dan merayakan semua yang telah perempuan suarakan selama ini. Mulai dari hak mendapatkan pendidikan, hak untuk memilih, dan hak yang perempuan puluhan tahun lalu belum sempat dapatkan. Tapi selain itu, saya rasa momen ini juga adalah untuk terus menyuarakan hal-hal yang masih meresahkan kita, seperti pelecehan dalam bentuk apapun – apalagi saya sangat galak terhadap catcalling – begitu juga untuk perpecahan stigma antara perempuan yang jadi ibu rumah tangga ataupun perempuan karier. Hal ini juga membuat saya berpikir bahwa jangan-jangan selama ini bukan hanya orang di luar sana yang meributkan hal ini, tapi kita sebagai sesama perempuan jangan-jangan masih memiliki stigma tersebut di dalam diri.
Apa satu isu tentang perempuan yang paling jadi concern kamu?
Meski belum banyak aksi yang saya lakukan terhadapnya, tapi saya concern dalam child marriage dan forced marriage. Meskipun angka data kekerasan dalam pernikahan itu menurun di Indonesia, tapi kasus ini masihlah ada. Artinya, masalah ini belum selesai. Lalu beberapa waktu lalu saya juga berkesempatan ikut menjadi relawan untuk salah satu badan PBB yang berfokus pada perempuan dan populasi. Saya pun beruntung bisa ikut konferensi besar dan menemukan fakta bahwa masalah yang jadi concern saya tadi, tak hanya merupakan masalah negara kita saja. Child marriage dan forced marriage adalah isu global. Saya akan sangat tertarik jika ada yang bisa membicarakan isu ini. Saya biasanya mengikuti pembicaraan tentang isu ini ketika ada ahli yang menyuarakannya.
Bagi kamu pribadi, bagaimana cara kamu mendeskripsikan kekuatan sesungguhnya dari seorang perempuan?
Perempuan itu kuat karena dirinya utuh. Bagi saya, perempuan itu utuh tanpa embel-embel apapun – tanpa status sosial, pekerjaan, pendidikan, pasangan, memiliki keturunan atau tidak. Perempuan itu spesial karena kita diberi anugerah untuk melahirkan, punya masa menstruasi, punya hormon-hormon yang secara biologis tak laki-laki miliki. Mungkin ada orang yang merasa bahwa menjadi perempuan itu repot, but that’s what makes us strong! Itulah perempuan, ia utuh tanpa embel-embel apapun. Ini pula yang akan menjadikan kekuatan perempuan beragam, contohnya ada yang ahli dalam bidang pekerjaannya, atau ada yang memilih untuk menempuh pendidikan dahulu. Tidak perlu ada satu hal spesifik yang mendeskripsikan dirinya, karena sedari awal perempuan itu sudah kuat.
(Givania Diwiya / FT / Images: Dok. Rachel Amanda / Layout: Severinus Dewantara)