Good Girl Complex: Salah Satu Alasan Hubungan Sepihak

Redaksi 29 May 2021

Di akhir tahun 2019, saya merasa lelah secara emosional dan tidak yakin kenapa saya merasa seperti itu. Saya mengingat periode itu sebagai salah satu titik terendah dalam hidup saya. Menangis di kursi belakang bus umum, tidak dapat menahan diri untuk tidak melakukannya. Sejujurnya, hal ini cukup lucu karena akan ada beberapa orang yang awalnya ingin duduk di bagian belakang bus tetapi ketika melihat saya menangis mereka akan berjalan kembali ke bagian depan. Tragis, tapi tetap lucu. Pada siang hari, saya akan berusaha menyelesaikan semua pekerjaan saya secara autopilot, dan di malam hari, jika fokus saya tidak teralihkan oleh hal lain, saya akan merasa kesusahan untuk tidur tanpa dibebani oleh pikiran-pikiran di kepala saya.

Sembari saya berbaring di tempat tidur, tiba-tiba saya merasa panik dan berpikir: Apakah saya pacar yang buruk jika lama dalam membalas pesannya? Apakah saya teman yang buruk jika membatalkan janji? Apakah saya anak yang buruk jika merasa tidak sanggup menyelesaikan jurusan saya di perkuliahan? Saya tahu ada sesuatu yang tidak benar, dan hubungan saya dengan sang kekasih pun memberi lebih banyak kegelisahan daripada kebahagiaan. Belakangan ini, saya mulai menyadari kalau saya sedang berkompromi dengan diri sendiri mengenai apa artinya menjadi pacar, teman, dan anak yang baik.


The Good Girl Complex

Good girl complex terbentuk dari sekumpulan perilaku sosial yang diinternalisasi oleh para perempuan. Sejak kecil, perempuan selalu dikenalkan dengan perilaku yang "diharapkan" selalu menyenangkan orang lain, meskipun hal ini berarti mengesampingkan kebutuhan dan kebahagiaannya.

Kita menyadari adanya tekanan sosial untuk menyenangkan semua orang di rumah, juga di institusi pendidikan dan di tempat kerja. Sebagaimana dijelaskan oleh Gerda Lerner dalam The Creation of Patriarchy, gender adalah sebuah “kostum, topeng, dan jaket pengekang” yang memaksa seseorang melakukan hal tertentu. Kalimat ini menyoroti bagaimana gender bersikap sebagai sebuah batasan, terutama bagi perempuan. Meski ekspektasi terhadap gender membuat perilaku manusia menjadi lebih mudah diprediksi, tuntutan yang datang bersama dengan ekspektasi itu, terutama untuk perempuan, cukup melelahkan. Perilaku “normal” yang diekspektasi dari seorang perempuan terkadang bisa menjadi cukup ekstrem.

'..'

Akhir-akhir ini, kami memprioritaskan kejujuran dan timbal balik. Karena apabila saya terus berjuang menjadi seorang "perempuan yang baik", saya akan membohongi diri saya sendiri. Saya juga belajar untuk mulai menenangkan diri sendiri ketika mengalami kegelisahan atau ketika kondisi percintaan saya sedang tidak stabil. Kekasih saya? Ia telah belajar untuk lebih menyediakan afirmasi dan kepedulian terhadap kesehatan mental saya. Alih-alih mengorbankan semuanya atas nama cinta, saya mencoba untuk mengatasi rasa takut saya atas penolakan. Hal ini pada awalnya cukup sulit untuk dilakukan, tetapi saya belajar bahwa refleksi diri dan menetapkan batasan adalah penawar ampuh untuk good girl complex. Saya harus menyadari bahwa nilai saya tidak bergantung pada faktor eksternal yang tidak bisa saya kendalikan, seperti ekspektasi orang terhadap saya. Saya juga harus mengajari diri saya untuk berani berkata “tidak,” walaupun saya tahu hal ini akan membuat orang lain kecewa. Semakin sering saya melakukannya, semakin mudah hal ini untuk dilakukan.


Menjaga Kesehatan Mental

Terapis hubungan, Cate Mackenzie, mengatakan bahwa menjaga kesehatan mental dalam sebuah hubungan yang terkena good girl complex dapat dilakukan. “Buat sebuah rutinitas di pagi hari yang dapat membantumu tenang seperti meditasi, menulis, berolahraga, atau mengulangi kalimat afirmasi pada diri sendiri,” jelasnya. “Ciptakan sebuah cara untuk kembali ke tubuhmu, menenangkan amigdala (sistem alarm dalam tubuh) dan membantu untuk menyelaraskan insular (bagian otak untuk menenangkan diri),” tambah Cate.

Saya tidak merasa malu terhadap kesulitan saya dengan good girl complex. Dengan terus mengingat bahwa apa yang saya pikirkan kemungkinan besar hanyalah over thinking, sekarang saya menjadi lebih baik pada diri sendiri. Kini, karena saya sudah lebih baik dalam menjaga kesehatan mental, saya memiliki lebih banyak ruang untuk cinta dan benar-benar menunjukkannya ke orang lain.

Hubungan saya pun kini sudah membaik. Saya mulai jarang membatalkan janji saya dengan orang lain karena saya tahu sebenarnya saya dapat menyanggupi hal itu. Hubungan saya dengan kekasih saya akhirnya berada di kondisi yang cukup stabil dan kini kami berfokus pada komunikasi yang terbuka. Kami tidak lagi takut untuk menjadi realistis terhadap perasaan dan ekspektasi masing-masing. Tetapi yang terpenting, hubungan saya dengan diri saya sendiri menjadi lebih baik dengan hilangnya beban dan tekanan sosial untuk terus menjadi “perempuan baik.”


(Artikel ini disadur dari Cosmopolitan UK / Perubahan telah dilakukan oleh editor / Alih bahasa: Nabila Nida Rafida / VA / Image: Dok. Quỳnh Lê Mạnh on Unsplash)