Kenapa Perempuan Sering Menyalahkan Diri Sendiri dalam Relationship?
Pernahkah kamu mengalami pertengkaran kecil dengan pasangan, lalu merasa bersalah? Bahkan sebelum tahu siapa yang salah, kamu sudah mulai mengoreksi diri: “Apa aku terlalu keras?” atau “Mungkin aku terlalu sensitif.” Kalau iya, kamu tidak sendirian. Banyak perempuan memiliki kecenderungan menyalahkan diri sendiri, bahkan ketika masalah tersebut bukan sepenuhnya tanggung jawab mereka.
Perasaan bersalah yang berlebihan dalam hubungan bukanlah kelemahan pribadi. Itu sering kali berasal dari pola didik, budaya, dan tekanan sosial yang menuntut perempuan untuk jadi penenang, penjaga harmoni, bahkan “penyelamat emosi” pasangan. Lewat lima poin berikut, kamu akan melihat akar masalah ini, dan bagaimana mulai mengubahnya tanpa menghilangkan empati dari dalam dirimu.
1. Budaya Membentukmu Jadi “Penjaga Keharmonisan”
Sejak kecil, kamu mungkin sering diajarkan untuk tidak membuat keributan, mengalah demi menjaga suasana, atau agar “jangan membuat orang lain kecewa”. Secara tidak sadar, kamu tumbuh dengan peran sebagai penengah. Menurut Journal of Personality and Social Psychology (2010), perempuan sering diberikan nilai lebih ketika menunjukkan perilaku suportif dan menghindari konfrontasi, yang kemudian membentuk respons menyalahkan diri sebagai mekanisme “menjinakkan konflik”.
2. Pola Asuh dan Ekspektasi Gender
Jika kamu dibesarkan dalam lingkungan yang menuntutmu untuk “jadi anak perempuan baik-baik” atau “tidak boleh membantah”, kamu terbiasa memendam perasaan dan mendalami kesalahan. Hal ini sesuai temuan dalam Gender and Society (2015) yang menyatakan bahwa anak perempuan lebih sering dimarahi karena menunjukkan emosi negatif, dibandingkan anak laki-laki. Maka ketika dewasa, ekspresi marah atau kecewa dalam hubungan sering berubah jadi rasa bersalah.
3. “Merasa” Emosi Pasangan Jadi Tanggung Jawabmu
Kamu mungkin merasa harus selalu peka terhadap perasaan pasangan, bahkan ketika pasanganmu sedang tidak sehat secara emosional. Kamu belajar bahwa ketika pasangan marah atau diam, pasti ada yang salah dalam dirimu. Padahal, setiap orang bertanggung jawab atas emosinya sendiri. Dalam Journal of Social and Personal Relationships (2018), disebutkan bahwa perempuan cenderung lebih terbeban secara emosional dalam relasi karena dianggap “lebih mampu merawat emosi”.
4. Takut Kehilangan Membuatmu Berkompromi Terlalu Jauh
Mungkin kamu berpikir, “Kalau aku terlalu keras, dia akan menjauh.” Rasa takut ditinggalkan atau kehilangan cinta sering membuatmu memilih mengalah dan menyalahkan diri agar hubungan tetap bertahan. Ini sering disebut sebagai anxious attachment, di mana kamu lebih memilih memendam ketidaknyamanan demi mempertahankan kedekatan. Penelitian dari Attachment & Human Development (2011) menunjukkan bahwa perempuan dengan gaya keterikatan cemas cenderung menyalahkan diri dalam konflik untuk menghindari penolakan.
5. Kamu Belum Terlatih Mendengar “Suara Sendiri”
Di antara semua suara yang kamu dengarkan, pasangan, keluarga, teman, suaramu sendiri sering kali paling pelan. Akhirnya kamu lebih percaya pada asumsi bahwa kamu yang salah, daripada mempercayai rasa kecewa, marah, atau lelah yang sebetulnya valid. Padahal, menurut Mindfulness and Self-Compassion Journal (2017), kemampuan mengenali dan menerima emosi diri justru menjadi kunci untuk membangun relasi yang sehat dan setara.