Ramai tentang Gaya Skena, Ini Definisinya!
Belakangan ini istilah “anak skena” makin sering terdengar, apalagi di tengah gempuran konten fashion, musik, dan gaya hidup di media sosial. Tapi sebelum ikut-ikutan pakai cargo pants dan kaus band berpotongan oversized, sudah tahu belum sebenarnya apa arti "skena"?
Asal Arti Kata Skena

Kalau kamu akhir-akhir ini rajin scroll TikTok, pasti kamu menyadari gaya anak muda yang tampilannya nyentrik, artsy, penuh personality, dan sering terlihat nongkrong di city corner yang youthful. Mereka sering disebut “anak skena.” Tapi tunggu dulu, apa sih sebenarnya yang dimaksud dengan anak skena?
Fenomena ini bukan sekadar tren fashion, tapi bagian dari pola pikir dan gaya hidup yang sedang banyak diadopsi oleh Gen Z di kota-kota besar. Gaya anak skena memang mencolok dan anti mainstream, tapi lebih dari sekedar fashion sense. Di balik itu, ada makna dan latar budaya yang panjang.
Istilah “skena” berasal dari adaptasi kata “scene” dalam bahasa Inggris, yang dalam dunia budaya pop merujuk pada kelompok sosial atau komunitas dengan minat dan gaya hidup yang spesifik, mulai dari musik, fashion, sampai sudut pandang terhadap dunia.
Namun, untuk menelusuri lebih dalam dari perspektif generasi muda hari ini khususnya Gen Z, makna “skena” telah berkembang jauh lebih dinamis yang menjadi cerminan digital culture yang selalu punya cara untuk membuat cara menjadi terlihat lebih niche.
Perspektif Gen Z terhadap "Skena"

Di kalangan Gen Z, “skena” tidak melulu soal musik indie atau lifestyle niche yang underground, tapi lebih luas: Menurut Audra Nandita, skena bukan sekadar tampilan, tapi lebih kepada bagaimana seseorang memposisikan diri di lingkungan sosialnya.
“Skena for me is knowing how to vibe and position yourself in the scene you’re in, without losing who you are. Just like in movies where each scene has different vibe and moods,” jelas Audra.
Masih Senada, Dafau Guciano menekankan bahwa skena itu selalu spesifik. Bagi dia, "skena" lebih kepada synchronicity of interest dan butuh konteks yang jelas.
“Buat saya skena artinya perkumpulan dari orang yang memiliki ketertarikan yang sama, dan tidak bisa cuman ‘skena’. Harus ada kelengkapannya—misal, skena mobil tua atau skena golf PIM. Itu baru masuk akal,” kata Dafau.
Jadi, skena lebih dari sekadar style, tapi juga tentang komunitas dengan interest spesifik, yang kemudian membentuk lifestyle tertentu.
Skena dan Sosial Media: Antara Exposure dan Distorsi

Di tengah era digital, keberadaan skena tak bisa dilepaskan dari peran sosial media seperti TikTok dan Instagram yang menyebarluaskan identitas skena ke khalayak luas.
Namun, menurut Dafau Guciano, media sosial juga mengubah makna skena.
“Mendistorsi makna katanya sih iya, but not a big deal,” ujar Dafau. Baginya, media sosial memang mengaburkan batas antara ekspresi otentik dan tren, tetapi di sisi lain juga membuka ruang bagi beragam bentuk skena baru untuk dikenali. Ia melihat bahwa meskipun makna “skena” kerap disederhanakan atau bahkan direduksi, sosial media tetap punya peran penting sebagai kanal distribusi identitas budaya. Efek dari sosial media mampu mengangkat hal niche lainnya yang tadinya hanya dikenal di lingkaran terbatas dengan stereotype tertentu, dan kini menjadi referensi umum yang luas di dunia Gen Z.
Di tengah dunia yang terlalu cepat dan penuh tekanan sosial, skena menjadi tempat nyaman untuk mereka yang merasa “berbeda.” Alih-alih mengejar validasi eksternal, anak skena cenderung mencari koneksi emosional, ruang aman, dan pengalaman yang lebih nyata.
Ketika ditanya kapan mereka merasa jadi bagian dari skena, Audra menjawab dengan menarik:
“It’s when I hang out with a group that’s different from my usual circle but they have the same vibe and interest.”
Sama halnya dengan Dafau yang juga merasakan momen itu datang “ketika berkumpul bersama orang yang punya ketertarikan yang sama”.
Perspektif Pakar: Ajeng Swastiari dan Tafsir Kritis atas Fenomena 'Skena'

Biasanya subkultur baru seperti skena muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap kondisi sosial. Semisal punk di era 70an dan 80an yang mengkritisi norma-norma sosial yang dianggap konservatif.
Ajeng Swastiari selaku pengamat mode dan Fashion Director punya pendapat lain. Baginya skena lahir sebagai medium berekspresi yang relevan sekarang ini.
“On the contrary, justru aku melihatnya ini sebagai bentuk ekspresi yang cocok dan resonate dengan perkembangan digital yang terjadi ya di generasi mereka,” ujar Ajeng.
Menurutnya, tidak semua yang tampak “berbeda” hari ini muncul sebagai bentuk perlawanan atau dikategorikan anti mainstream.
Generasi muda sekarang tidak lagi bergerak dalam dikotomi “mainstream’ atau sidestream” seperti subkultur lama lainnya. Alih-alih memberontak, Gen Z cenderung mengambil, memodifikasi, dan merekonstruksi ulang elemen masa lalu menjadi bentuk ekspresi baru yang selaras dengan identitas digital mereka masing-masing.
Salah satu contohnya adalah gaya Y2K (Year 2000) yang kini merajalela kembali. Namun, gaya ini bukan dihidupkan kembali dengan tujuan nostalgia semata, melainkan diolah menjadi “rasa baru” yang lebih relevan dengan selera estetik masa kini.
“Mereka seperti kembali ke kita di generasi tahun 2000-an. Itu juga yang membuat kita terasa familier, tapi mereka dapat merubah itu menjadi rasa yang baru,” kata Kak Ajeng.
Bagi Ajeng apa yang dianggap anti-mainstream oleh sebagian orang kini sudah menjadi arus besar yang baru, karena industri fashion dan brand komersial pun ikut mengambil referensi dari gaya-gaya anak skena demi menyasar pasar muda yang aktif, visual, dan ekspresif.
“Bekerja di industri fashion saya terus mendapatkan permintaan untuk membuat moodboard atau referensi yang ingin semakin fresh dan adaptif dengan generasi muda. Tentu karena mereka adalah target pasar baru. So they're pretty much around.”
Dengan kata lain, skena telah bertransformasi dari fenomena sosial ke dalam mesin perputaran estetika dan ekonomi. Mereka bukan lagi pinggiran atau opsi, melainkan bagian dari pusat produksi gaya hidup masa kini.