Tentang Perempuan, Seragam Atlet, dan Seksisme dalam Dunia Olahraga
- Olimpiade Tokyo 2020 resmi dimulai pada Jumat, 23 Juli 2021 kemarin, dan seragam yang dikenakan oleh para atlet senam Jerman mendapat dukungan positif dari masyarakat.
- Tim atlet senam Jerman memutuskan untuk memakai pakaian serba tertutup dalam kompetisi Olimpiade Tokyo 2020.
- Para atlet Norwegia mendapat denda karena mengenakan pakaian terlalu tertutup ketika bertanding dalam Euro 2021 Championship, di sisi lain, Olivia Breen, atlet paralympic, justru mendapat teguran karena mengenakan pakaian yang terlalu terbuka.
- Para atlet perempuan seharusnya merasa nyaman dengan apa yang mereka kenakan saat bertanding, namun seksisme dalam dunia olahraga seringkali membatasi apa yang boleh mereka kenakan dan membuat mereka rentan menjadi objek seksualitas.
Olimpiade Tokyo 2020 resmi dimulai pada Jumat, 23 Juli 2021 kemarin, dan di tengah ingar bingar kompetisi olahraga terbesar di dunia tersebut, perhelatan ini turut mendulang perhatian masyarakat sehubungan dengan seragam yang dikenakan para atlet.
Ya, siapa yang menyangka, bahwa selain harus menyiapkan diri untuk menampilkan performa terbaik dalam pertandingan, para atlet juga ternyata perlu berkutat dengan pakaian yang mereka kenakan—memastikan bahwa seragam tersebut sudah sesuai dengan aturan dress code pertandingan.
Bicara soal dress code, kamu pasti sudah mendengar berita seputar para atlet senam Jerman yang berani menyuarakan pendapat mereka dengan mengenakan seragam serba tertutup di ronde kualifikasi Olimpiade karena mereka merasa lebih nyaman dengan menggunakan pakaian tersebut. Alih-alih mengenakan leotard tradisional, mereka memilih mengenakan unitard, suatu keputusan yang patut diacungi jempol. "Kami ingin menunjukkan bahwa setiap perempuan, juga setiap orang, dapat memilih apa yang ingin mereka kenakan," ujar Elizabeth Seitz, anggota tim atlet gimnastik Jerman saat sesi latihan hari Jumat pekan lalu. Elizabeth Seitz dan anggota timnya mengaku bahwa pada awalnya mereka masih belum yakin mengenai apa yang harus mereka kenakan untuk kompetisi, namun kemudian memutuskan untuk mengenakan full unitard dalam pertandingan Olimpiade tahun ini dengan harapan seragam tersebut akan membantu mereka tampil dengan keadaan mental yang lebih optimal.
'."Dalam olahraga gimnastik, rasanya segalanya semakin sulit ketika tubuhmu tumbuh. Sebagai anak perempuan dulu, saya tak melihat pakaian gym yang ketat sebagai suatu hal penting. Namun begitu pubertas dimulai, ketika saya mengalami datang bulan, saya mulai merasa tidak nyaman."
Tak mengejutkan jika dalam pertandingan Olimpiade kali ini, Sarah Voss dan tim kembali memutuskan untuk berkompetisi dengan menggunakan unitard. Melansir dari Reuters, "Kami ingin memastikan bahwa setiap orang merasa nyaman dan kami ingin menunjukkan pada semua orang bahwa mereka dapat mengenakan apapun yang mereka mau dan tetap terlihat luar biasa, merasa luar biasa, entah itu dalam balutan leotard panjang maupun pendek," ujar Gen-Z berumur 21 tahun tersebut. Sarah melanjutkan, "Kami sebagai perempuan memiliki andil besar dalam hal ini. Dan para pelatih juga sangat mendukung hal tersebut. Mereka berkata bahwa mereka ingin kami merasa sangat percaya diri dan nyaman dalam setiap situasi. Hal ini membuatmu merasa lebih baik dan lebih nyaman."
Elisabeth Seitz juga menambahkan, bahwa jika semua orang berlatih dalam seragam serba tertutup, mengapa mereka tidak dapat melakukan hal yang sama saat berkompetisi? Dalam unggahan media sosialnya, Elisabeth Seitz menulis, "Simbol ini berlaku bagi seluruh atlet gimnastik yang merasa tidak nyaman atau bahkan merasa menjadi objek seksual dalam seragam biasa. Karena, menurut opini kami, setiap atlet gimnastik seharusnya mampu memutuskan dengan balutan seragam apa ia merasa paling nyaman—lalu bertanding dengan seragam tersebut."
Keputusan yang dilakukan para atlet gimnastik Jerman tersebut mendapatkan pujian dari kompetitor mereka di Olimpiade Tokyo 2020. Julie Erichsen, seorang atlet gimnastik Norwegia, berkata, "Saya pikir ini benar-benar keren ketika mereka memiliki keberanian untuk berdiri di sebuah arena luas dan menunjukkan pada para perempuan di seluruh dunia bahwa kamu bisa mengenakan apapun yang kamu inginkan."
Tepuk tangan bagi International Gymnastics Federation, karena—tak seperti *ahem*, Disciplinary Committee of the European Handball Federation, *ahem*—mereka memilih untuk tidak bersikap seksis dan memberi penalti atau denda bagi tim gimnastik Jerman.
Memang sudah sepatutnya bagi para atlet untuk dapat mengenakan apa yang mereka inginkan dalam pertandingan, terutama bagi para atlet perempuan yang selama ini banyak mengalami ketidakadilan dalam dunia olahraga. Jika memang kita ingin mengejar gender equity, maka aturan mengenai seragam atlet, terutama seragam perempuan, haruslah menjadi topik penting untuk dibicarakan. Saya memang bukan ahli dalam hal olahraga, apalagi Olimpiade, silakan ralat jika saya salah, tapi menurut saya, dalam sebuah pertandingan, para atlet seharusnya mengenakan seragam yang membuat mereka merasa nyaman dan percaya diri sehingga mereka bisa memberikan penampilan yang terbaik di lantai pertandingan. Lagipula, skor para atlet seharusnya diberikan berdasarkan bagaimana performa mereka di arena pertandingan, dan bukan mengenai apa yang mereka kenakan. Bukankah begitu?
(Alvin Yoga / FT / Image: Dok. Instagram @_kim.bui_, @sarah.vossi)