Lelah dengan Scroll Tanpa Akhir? Saatnya Atasi Digital Fatigue Kamu

Nadhifa Arundati 24 Sep 2025

2025 menjadi tahun emas bagi perkembangan digital—dengan bertambahnya jumlah influencers, konten yang semakin beragam, dan lebih tepatnya, semua orang tampaknya lebih “hidup” secara online. Tetapi dengan notifikasi, posting-an, serta konten lain yang kita konsumsi secara konstan, pada akhirnya memberikan efek samping bagi para pemirsanya: digital fatigue. Bukan sekadar mata yang kelelahan akibat scrolling—sering lupa, mental fog, dan tak konsisten dalam melakukan satu pekerjaan, membuat hidup kita malah menjadi runyam. 

Kita sedang hidup di era partial attention. Hari-hari kamu dihabiskan dengan lompat dari email ke DM, dari Zoom call ke Instagram Reels, dari “satu episode lagi” di Netflix ke sesi scroll tengah malam yang nggak ada habisnya. Walaupun teknologi diciptakan untuk bikin kita tetap terhubung, diam-diam ia juga menguras fokus, kesabaran, dan energi mentalmu. Untuk memahami fenomena modern ini—dan yang lebih penting, cara menghadapinya—Cosmo berbincang dengan para profesional kesehatan mental serta mereka yang pekerjaannya selalu menuntut untuk terus online.

Digital fatigue semakin sering saya lihat belakangan ini, terutama pada mereka yang bekerja di posisi high-performing dengan basis digital,” jelas psikolog Mehezabin Dordi. “Ada cognitive overload yang konstan karena selalu terhubung—baik pekerjaan, kehidupan pribadi, bahkan waktu santai pun sekarang bergantung pada layar. Tanpa batasan yang jelas, sistem saraf kita jadi terus terstimulasi, dan ini memengaruhi segalanya: mulai dari fokus, energi, tidur, sampai ketahanan emosional.”

Jadi, bagaimana cara mengaturnya? “Coba bangun jeda yang disengaja di dalam harimu. Misalnya, menjauh dari layar di sela rapat, membuat pagi atau malam tanpa gadget, mematikan notifikasi yang tidak mendesak, atau melakukan sesuatu yang melibatkan fisik seperti berjalan kaki, memasak, atau menulis jurnal supaya kamu kembali ke momen saat ini,” sarannya. “Bukan berarti kamu harus berhenti pakai teknologi sepenuhnya,” tambahnya. “Tapi gunakan sesuai kendali kamu—jangan biarkan teknologi yang mengatur harimu.”

Bagi content creator sekaligus salah satu personality paling ramai dibicarakan saat ini, Orry, solusinya ya… seunik dirinya. “Digital fatigue? Aku sudah merasakannya sejak Instagram lahir,” ujarnya sambil tertawa. “Obatnya gampang—aku menonton diriku sendiri. Itu mengingatkanku kenapa aku online sejak awal. Percaya deh, itu kayak membalikkan kerusakan. Jujur, semua orang harus coba ini beberapa jam sehari—unfollow semua orang lain.”

Psikolog klinis dan terapis perilaku, Sophia Peermohideen, juga melihat dampak seriusnya, terutama belakangan ini. “Selama dan setelah pandemi, ada lonjakan besar kasus digital fatigue—kelelahan mental yang muncul karena terus-menerus terikat dengan layar,” jelasnya. “Kita jadi makin bergantung pada perangkat, dengan waktu layar yang panjang, konektivitas tanpa henti, multitasking, dan banjir informasi. Semua ini membuat batas antara kerja dan kehidupan pribadi jadi kabur. Akibatnya, muncul gejala fisik seperti mata lelah dan sakit kepala, efek mental seperti mudah marah, cemas, dan sulit konsentrasi, bahkan bisa berujung pada keterputusan emosional atau mood yang rendah. Produktivitas bisa turun, hubungan terganggu, dan dalam beberapa kasus memicu depresi. Solusinya adalah lebih intentional—ambil jeda digital, tetapkan batas antara kerja dan waktu pribadi, jadwalkan aktivitas offline, prioritaskan tidur dan nutrisi, dan kalau perlu, cari bantuan profesional. Intinya adalah merebut kembali kendali dari perangkatmu, supaya mereka melayani kamu—bukan sebaliknya.”

Bagi entrepreneur sekaligus content creator, Diipa Khosla, tantangan utamanya adalah menjaga keseimbangan antara karier yang dibangun secara online dengan kebutuhan untuk hadir secara offline. “Pekerjaanku menuntut untuk selalu terhubung—membuat konten, berinteraksi dengan komunitas, mengikuti tren—tapi aku belajar kalau kamu nggak pernah berhenti, kamu bisa kehilangan perspektif,” katanya. “Aku selalu menyisihkan momen sakral tanpa ponsel, bahkan hanya sekadar minum kopi dalam hening atau berjalan tanpa headphone. Jeda-jeda itu bukan kemewahan; itu kebutuhan kalau kamu ingin terus berkarya dari tempat yang autentik, bukan dari kelelahan.”

Meskipun gejala digital fatigue terasa sangat modern, solusinya sering kali kembali pada hal-hal klasik: batasan, keseimbangan, dan seni untuk log off sama seringnya dengan log in. Karena di dunia yang terus-menerus memberi penghargaan pada konektivitas, kadang hal paling radikal yang bisa kamu lakukan untuk kesehatan mentalmu adalah… keluar sejenak.

 

(Artikel disadur dari Cosmopolitan.com / Perubahan bahasa dilakukan oleh penulis, Nadhifa Arundati / Image: Photo by mikoto.raw on Pexels)