Toxic Positivity dalam Hubungan: Saat Kata ‘Sabar’ Berubah Jadi Racun

Redaksi 2 26 Sep 2025

Ada saatnya kamu curhat panjang lebar ke pasangan, tapi jawaban yang keluar hanya, “sabar, semua bakal baik-baik saja”. Awalnya terdengar menenangkan, tapi lama-lama justru terasa seperti tembok yang menutup ruang ekspresimu. Kata-kata manis itu bukannya menguatkan, malah bikin kamu merasa tidak dipahami. Inilah yang sering disebut sebagai toxic positivity dalam hubungan.

Menurut Journal of Personality and Social Psychology (2018), validasi emosi adalah salah satu kebutuhan dasar dalam interaksi manusia. Saat emosimu dipotong dengan kalimat positif yang dangkal, kamu bisa merasa diabaikan. Maka, penting untuk memahami bahwa tidak semua hal harus ditutupi dengan “positivity”. Kadang, justru mengakui luka itulah yang membuat hubungan lebih sehat.

Apa Itu Toxic Positivity dalam Hubungan?

Toxic positivity adalah kecenderungan untuk menutupi atau menolak emosi negatif dengan kalimat positif berlebihan. Dalam hubungan, ini sering muncul lewat ucapan seperti, “jangan sedih, bersyukur aja” atau “kamu terlalu mikir negatif”. Menurut Frontiers in Psychology (2020), praktik ini bisa menghambat pemrosesan emosi yang sehat.

Dampaknya pada Kesehatan Emosionalmu

Mungkin kamu merasa dipaksa selalu “baik-baik saja” padahal hatimu butuh ruang untuk berduka atau marah. Studi di Journal of Experimental Psychology (2019) menemukan bahwa menekan emosi negatif justru meningkatkan kecemasan dan stres. Kalau pasangan sering melakukan ini, wajar jika kamu cepat lelah secara emosional.

Bedakan Dukungan Positif vs. Toxic Positivity

Dukungan positif bukan berarti menolak kesedihanmu. Pasangan yang suportif akan bilang, “aku ngerti kamu lagi capek, boleh kok istirahat dulu” bukan sekadar, “ah jangan dipikirin”. Journal of Social and Clinical Psychology (2021) menekankan bahwa validasi emosional jauh lebih penting daripada sekadar memberi solusi instan.

Cara Menghadapi Pasangan yang Terjebak Toxic Positivity

Kalau kamu merasa sering direspons dengan toxic positivity, coba komunikasikan dengan jelas. Katakan, “aku butuh kamu dengerin dulu, bukan langsung kasih solusi”. Menurut American Psychological Association (APA, 2020), keterampilan komunikasi asertif membantu pasangan lebih memahami kebutuhan emosional satu sama lain.

Belajar Memberi Ruang pada Emosi

Hubungan yang sehat bukan hanya tempat berbagi bahagia, tapi juga aman untuk menangis atau marah. Saat kamu dan pasangan belajar menerima semua spektrum emosi, ikatan jadi lebih kuat. Journal of Marriage and Family (2019) menunjukkan bahwa pasangan yang terbiasa mengelola emosi bersama lebih tahan menghadapi konflik.

Toxic positivity dalam hubungan bisa jadi racun kalau terus dibiarkan. Kata “sabar” memang terdengar ringan, tapi jika dipakai untuk menutup luka, justru memperburuk jarak emosional. Ingat, hubungan sehat bukan tentang selalu bahagia, tapi tentang berani hadir di saat-saat rapuh sekalipun.