Pasangan Selingkuh, Apa Pantas Mendapat Kesempatan Kedua?
“Sekali tukang selingkuh, tetap tukang selingkuh." Kalimat ini sering kita dengar saat remaja, sebuah peringatan yang—dalam beberapa hal—cukup feminis. Seolah memberikan tameng perlindungan, frasa ini menyiratkan, "kalau dia pernah menyakiti seseorang, besar kemungkinan dia akan melakukannya lagi." Perselingkuhan sering dianggap sebagai salah satu dari "trinitas suci" alasan yang membuat perempuan "didukung" untuk meninggalkan pasangannya:
- Apakah dia memukul kamu?
- Apakah dia terlalu sering minum alkohol?
- Apakah dia berselingkuh?
Jika salah satu dari pertanyaan itu dijawab dengan "ya," perempuan didorong untuk keluar dari hubungan tersebut. Tetapi masalahnya, konsep seperti ini tak mudah dijalani di dunia realita. Sama seperti frasa "sekali tukang selingkuh..." yang tidak memberikan ruang untuk nuansa kompelksitas dalam hubungan orang dewasa—dengan segala kerumitannya.
Di dunia nyata, perselingkuhan bisa terjadi dalam berbagai bentuk, dari yang sepenuhnya berperilaku egois, hingga akhirnya didasari keputusasaan. Meski mudah memosisikan perselingkuhan sebagai tindakan kejam, sering kali akar permasalahannya berasal dari luka yang belum sembuh. Ada banyak pertanyaan yang muncul: “Kenapa? Kenapa sekarang? Kenapa orang ini? Apa sebenarnya penyebabnya?” Namun pertanyaan yang paling penting adalah, “apa yang harus dilakukan setelahnya?” Bisakah sebuah hubungan bertahan setelah perselingkuhan? Ataukah itu tetap menjadi "hukuman mati" yang diajarkan kepada kita sejak dulu?
Perselingkuhan dan Realitas Monogami
Perselingkuhan sendiri merupakan topik yang begitu kaya akan kompleksitas, sehingga psikoterapis Esther Perel mendalami topik ini dalam bukunya, State of Affairs. Buku tersebut membahas efek domino dari keluar dari batasan hubungan yang telah ditentukan, terutama hubungan monogami.
“Monogami adalah ideal romantis yang dianggap sakral karena itu menegaskan keistimewaan kita. Perselingkuhan berkata, 'Kamu tidak istimewa.' Itu menghancurkan ambisi besar dari cinta," ujar Perel.
Namun, meskipun buku itu memberikan banyak pencerahan, isinya lebih berakar pada pengalaman masyarakat Amerika, dengan sedikit perspektif Eropa dan Amerika Selatan. Di Indonesia, struktur hubungan—terutama pernikahan—dipengaruhi oleh banyak faktor yang berbeda. Ada keluarga, stigma sosial, dan pola pikir tradisional yang diwarisi atau harus dilawan.
Bagaimana Perselingkuhan Diperlakukan Secara Umum
Dalam penelitian untuk artikel ini, saya bergabung dengan komunitas global di Reddit bernama “Cheating Stories", yang memiliki lebih dari 248 ribu anggota. Komunitas ini adalah ruang anonim tempat orang-orang berbagi pengalaman tentang perselingkuhan. Dari situ, saya belajar betapa mendalamnya dampak perselingkuhan bagi seseorang—dan betapa kerasnya orang lain menilai mereka yang melakukannya.
Kalimat seperti "tinggalkan dia sekarang juga," "buang dia," atau "dia jelas gak bisa dipercaya, kamu lebih baik tanpa dia" sering muncul. Namun jarang sekali saya melihat pertanyaan seperti "kenapa dia melakukannya?" atau "kamu masih mencintainya. Apa yang kamu rasakan?"
Stigma untuk bertahan setelah diselingkuhi sangat nyata. Banyak orang meninggalkan pasangan mereka karena, selain trauma yang dialami, ada rasa malu karena memaafkan kesalahan besar itu.
Cerita Nyata: Memutuskan atau Bertahan?
Mahira* meninggalkan pacarnya empat tahun lalu setelah mengetahui bahwa pacarnya tidur dengan seorang teman dekat saat perjalanan kerja.
"Aku tak bisa berhenti membayangkan mereka bersama. Pengkhianatan itu terlalu menyakitkan. Padahal ada bagian dari diriku yang ingin mencoba memaafkannya. Tetapi teman-temanku gak membiarkan itu. Mereka marah besar dan bahkan kesal aku masih berhubungan dengannya setelah apa yang dia lakukan. Dia patah hati, bilang itu kesalahan yang gak akan dia ulangi. Sekarang sudah empat tahun berlalu, dan aku belum bisa move on. Kami kembali berhubungan, tapi aku gak bilang ke teman-temanku. Aku gak tahu ke mana hubungan ini akan berjalan, tapi selama empat tahun ini, aku gak menemukan apa pun yang seindah hubungan kami dulu. Apakah itu layak diperjuangkan?"
Menghadapi Luka, Membalas Luka
Alisha*, yang suaminya berselingkuh setelah tiga tahun menikah, merasa hancur. Tapi dia memutuskan untuk tetap bertahan.
"Jadi korban itu bukan gayaku," katanya. "Aku sempat berpikir untuk meninggalkannya, tapi gak pernah terasa benar. Itu cuma one-night stand yang random. Menurutku, manusia memang bisa bikin kesalahan."
Namun, Alisha akhirnya memutuskan untuk "membalas dendam."
"Aku tidur dengan pria yang aku tahu akan membuat suamiku kesal, tapi dia bukan bagian dari hidup kami. Apakah itu sehat? Tentu saja gak. Kami sekarang terapi. Tapi dia yang pertama kali selingkuh, dan itu menghancurkan hatiku. Membalasnya membuatku merasa punya kuasa lagi."
Menyembuhkan Hubungan yang Retak
Bagi perempuan di masa kini, perselingkuhan memunculkan campuran emosi—merasa sakit, tidak istimewa, dikhianati, dan bahkan seperti korban. Namun, hanya kamu yang tahu inti dari hubunganmu.
Metafora seni Jepang Kintsugi—memperbaiki keramik pecah dengan emas—sangat cocok dalam situasi ini. Hubunganmu mungkin retak, tapi hanya kamu yang bisa melihat apakah pecahan itu adalah serpihan masa lalu bersama atau peluang untuk membentuk sesuatu yang baru dan indah.
(Artikel ini disadur dari cosmopolitan.in / Perubahan bahasa telah dilakukan oleh penulis, Nadhifa Arundati / Image: Dok. Pexels by Timur Weber)