Ternyata, Keseringan Curhat di Media Sosial itu Ada Dampak Buruknya
Kamu mungkin pernah mengalami situasi seperti ini: sedang menikmati waktu luang sembari menggulir Instagram dan menemukan konten yang penuh emosi? Mulai dari video orang asing yang menangis hingga curahan hati para selebriti tentang putus cinta, kesehatan mental, atau masalah pribadi lainnya. Foto selfie sambil menangis atau siaran langsung penuh emosi ini sering kali viral, mendapatkan ribuan tanda suka, dibagikan ulang, dan menjadi bahan obrolan di kolom komentar. Fenomena ini seolah menjadi ruang bersama, tempat emosi mentah bertemu dengan rasa keterhubungan.
Tren ini mulai booming sekitar tahun 2021, ketika selebritas seperti Lizzo, Megan Thee Stallion, dan Dua Lipa mulai membagikan cerita tanpa filter melalui Instagram Live. Supermodel Bella Hadid juga ikut memopulerkan tren ini dengan selfie sambil menangis, memberikan gambaran intim tentang perjuangannya melawan isu kesehatan mental.
Mengapa Konten Emosional Begitu Diminati?
Charu Prabhakar, seorang psikolog klinis dari platform kesehatan mental Lissun, menyebutkan bahwa fenomena ini mencerminkan perubahan budaya yang lebih luas. “Saat ini, sikap terhadap kesehatan mental mulai berubah secara global, mendorong orang untuk lebih terbuka tentang perjuangan mereka,” jelasnya. “Meskipun pemicu dan ekspresi rasa sakit berbeda-beda, pengalaman manusia terhadap penderitaan itu universal. Secara evolusioner, manusia cenderung mencari kesamaan pada orang lain—dan perjuangan yang serupa dapat memberikan rasa kebersamaan.”
Kebutuhan akan koneksi ini, yang diperkuat oleh jangkauan media sosial, membuat konten seperti ini terasa sangat menarik. “Konten seperti ini tidak hanya menarik perhatian, tetapi juga mengundang keterlibatan,” tambah Prabhakar. “Orang-orang merasa divalidasi, diperhatikan, dan terkoneksi, menciptakan siklus kerentanan dan respons yang terasa sangat manusiawi.”
Ahli siber Anil Ramachalla menambahkan bahwa keinginan akan keaslian ini juga mengubah media sosial itu sendiri. “Saat ini, emosi telah menjadi komoditas. Video seseorang yang menangis sering kali menggandakan jumlah tanda suka secara instan. Orang sekarang mencari sesuatu yang autentik—hal yang terasa hilang selama bertahun-tahun dalam kesempurnaan yang dikurasi di ruang online.”
Sebuah studi pada tahun 2017 yang diterbitkan dalam *Proceedings of the National Academy of Sciences* mendukung argumen ini. Studi tersebut menemukan bahwa emosi moral secara signifikan meningkatkan kemungkinan suatu pesan menjadi viral.
Namun, Ramachalla juga mengingatkan sisi gelap dari tren ini. “Beberapa kreator konten tidak hanya membagikan pengalaman, tetapi juga menjual rasa keterhubungan. Misalnya, unggahan tentang kecemasan sering kali dilengkapi dengan video tangan yang gemetar atau tangisan emosional—dan sering kali dikaitkan dengan dukungan untuk terapis, retret kesehatan, atau produk pengembangan diri. Kerentanan, dalam hal ini, menjadi alat pemasaran.”
Ketika Emosi Menjadi Konten
Advait Bhatia (nama samaran), seorang kreator konten dengan lebih dari 100.000 pengikut, mengungkapkan sisi performatif dari tren ini. “Menangis adalah hal yang alami, tetapi ketika kamu sedang mengalami breakdown dan masih sempat mengambil ponsel untuk merekamnya, itu menjadi performatif,” katanya. Bhatia juga mengakui bahwa kerja sama dengan merek wellness sering kali meminta kontennya dibuat se-emosional mungkin. “Video saya yang hanya bercerita tentang putus cinta biasa-biasa saja jauh lebih sedikit mendapat keterlibatan dibandingkan video saya menangis di kamar mandi,” ujarnya.
'.Trauma dan Validasi Daring
Trauma adalah perjalanan yang sangat personal. Apa yang dianggap traumatis oleh satu orang belum tentu sama bagi orang lain. Dr. Sujatha Rajamani, Konsultan Psikiater di KIMS Hospitals, Hyderabad, mengatakan, “Istilah ‘trauma’ semakin sering digunakan, terutama di media. Bagi sebagian selebritas, cerita trauma bisa menjadi cara untuk menarik perhatian. Meskipun cerita mereka mungkin relevan, kadang motifnya terasa kalkulatif.”
Namun, penyembuhan sejati bukan soal validasi eksternal, tetapi tentang menyelesaikan rasa sakit dari dalam. “Proses ini membutuhkan ketangguhan, refleksi, dan pada akhirnya, perkembangan diri,” tambahnya.
(Artikel ini disadur dari cosmopolitan.in / Perubahan bahasa telah dilakukan oleh penulis, Nadhifa Arundati / Image: Dok. Pexels by MART PRODUCTION)