Fenomena “Quiet Quitting”: Apakah Bekerja Secukupnya Itu Buruk?

Redaksi 2 08 Feb 2025

Pernahkah kamu mendengar istilah “quiet quitting” yang belakangan ini menjadi topik hangat, terutama di kalangan Generasi Z? Konsep ini sebenarnya bukan tentang kemalasan, pasif, atau berhenti bekerja secara diam-diam, tapi sebatas menjalankan pekerjaan sesuai dengan deskripsi tugas, tanpa improvisasi.

Yups, quiet quitting adalah fenomena di mana seseorang tetap menjalankan tugasnya di tempat kerja, tapi hanya sebatas tanggung jawab yang diberikan, tanpa usaha lebih atau menolak budaya hustle yang menuntut dedikasi berlebih tanpa imbalan yang sepadan.

Lalu, apakah bekerja secukupnya itu buruk, atau justru merupakan cara sehat untuk menjaga kewarasan? Simak yuk!

Apa Sih Penyebab Munculnya Fenomena Quiet Quitting?

Salah satu alasan seseorang memilih quiet quitting adalah untuk menjaga keseimbangan hidup. Banyak pekerja merasa terbebani oleh ekspektasi yang tidak realistis, seperti bekerja lebih dari jam kerja yang ditentukan, mengambil tanggung jawab tambahan tanpa kenaikan gaji, atau selalu harus “terlihat sibuk” agar tidak dianggap kurang berkontribusi.

Penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Enterprise and Development, menemukan bahwa stres kerja berperan sebagai mediator dalam hubungan antara beban kerja, keseimbangan kerja-hidup, dan fenomena quiet quitting di kalangan karyawan Generasi Z.

Studi tersebut menunjukkan bahwa beban kerja yang berlebihan dan kurangnya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi bisa meningkatkan stres, yang pada akhirnya mendorong para pekerja untuk menarik diri secara emosional dari pekerjaan mereka.

Dampak Quiet Quitting, Karier yang Terhambat atau Justru Lebih Sehat?

Quiet quitting sering dikaitkan dengan cara untuk tetap waras di lingkungan kerja. Namun, di sisi lain, ada pula anggapan bahwa pendekatan ini mencerminkan kurangnya motivasi dan komitmen.

Perusahaan menginginkan karyawan yang proaktif, bukan hanya sekadar “bekerja secukupnya.” Inilah yang menimbulkan dilema, apakah karyawan harus terus bekerja keras tanpa jaminan imbalan yang layak, atau sebaiknya mempertahankan batasan agar tidak terjebak dalam siklus kerja yang merugikan?

Dampak quiet quitting memang tak selalu hitam-putih. Di satu sisi, membatasi keterlibatan dalam pekerjaan bisa membuat seseorang lebih tenang, tidak terlalu stres, dan mampu menikmati kehidupan di luar pekerjaan. Tak sedikit yang merasakan peningkatan kesehatan mental setelah berhenti memaksakan diri untuk selalu “bersinar” di kantor.

Namun, dari perspektif profesional, strategi ini bisa menjadi bumerang. Karyawan yang hanya bekerja sesuai standar minimum, mungkin kehilangan peluang untuk naik jabatan atau mendapatkan proyek-proyek menarik yang bisa mengembangkan keterampilan mereka.

Dunia kerja tetap kompetitif, dan banyak perusahaan lebih memilih mereka yang menunjukkan inisiatif lebih, bukan yang sekadar bertahan. Pada akhirnya, quiet quitting bisa menjadi solusi jangka pendek untuk menghindari burnout, tapi dalam jangka panjang, bisa membatasi peluang pertumbuhan karier.

Mencari Jalan Tengah, Bekerja dengan Sehat Tanpa Kehilangan Peluang

Jika quiet quitting dianggap sebagai respons terhadap budaya kerja yang tidak sehat, maka solusinya bukan hanya pada individu, tapi juga pada sistem kerja itu sendiri. Perusahaan perlu lebih transparan dalam memberikan apresiasi dan kompensasi yang sesuai dengan kontribusi karyawan.

Karyawan juga harus menemukan keseimbangan yang tepat antara menjaga batasan pribadi dan tetap menunjukkan kinerja yang berkualitas. Tak perlu selalu bekerja berlebihan untuk terlihat produktif, tapi juga jangan sampai kehilangan peluang hanya karena menolak segala bentuk tantangan.

Kuncinya adalah bekerja dengan cerdas, fokus pada pekerjaan yang benar-benar bernilai, menjaga komunikasi yang baik dengan atasan, serta tetap mengembangkan keterampilan agar memiliki daya saing di dunia kerja yang terus berkembang.

Pada akhirnya, quiet quitting bukan sekadar tren, tapi refleksi dari perubahan pola pikir generasi pekerja masa kini yang lebih menghargai keseimbangan hidup. Bekerja secukupnya bukan berarti tidak peduli, tetapi juga bukan alasan untuk stagnan. Yang terpenting adalah menemukan ritme kerja yang membuat kita tetap produktif tanpa mengorbankan kesehatan fisik dan mental.

So, apakah quiet quitting itu buruk? Jawabannya tergantung dari bagaimana kita menerapkannya dalam konteks kehidupan dan karier masing-masing.