4 Perempuan Kuat yang Berkarier di Industri Dominasi Pria
Workforce hari ini menunjukkan lebih banyak keragaman dalam posisi-posisi pekerjaan yang mungkin awalnya didominasi oleh pria. Menurut studi data yang dilakukan LinkedIn, terdapat progres selama 10 tahun ini dalam proporsi pemimpin perempuan yang naik dengan rata-rata dua persen di antara 12 industri yang disorot. Studi tersebut juga menyebutkan bahwa sejak tahun 1978, ada lebih banyak perempuan yang memasuki sektor STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics). Tak terkecuali untuk profesi Automotive Salesperson, Arsitek, Fisikawan, hingga yang menduduki posisi-posisi pemimpin dalam bidang software, IT, sampai public safety. Cosmo pun menemui lima perempuan di Indonesia lintas profesi dan industri untuk berbagi tentang perannya dalam menggeluti perusahaan male-dominated, serta kontribusinya dalam mendorong perempuan untuk sama-sama mengeksplorasi kariernya tanpa batasan.
Jane A. Nawilis
Sebagai penerus generasi ketiga dari bengkel Nawilis, Jane bertanggung jawab untuk memastikan keuangan bengkel berjalan lancar. Meski titelnya Finance Director, namun Jane secara otomatis bekerja multitasking untuk perusahaan keluarga ini. Mulai dari mengekspansi peran ke marketing sampai legal, Jane pun menambah wawasannya dengan mengikuti seminar tentang finance, accounting, pajak, manajemen, human resource, sampai tentang mengelola media sosial untuk akun bisnis. Namun Jane mengakui bahwa dalam dunia bengkel, memang masih belum banyak perempuan yang menerjuni pekerjaan ini.
Bengkel Nawilis sendiri memiliki tiga karyawan perempuan yang menjadi kepala cabang, serta satu mekanik perempuan yang telah bekerja bersama selama 20 tahun. Jane sendiri telah berkutat dengan dunia maskulin sejak dini. Bagi Jane kecil, bengkel menjadi playground untuk petak umpat, dan ia pun tumbuh menyenangi matematika, fisika, dan mengambil jurusan kuliah Teknik Mesin. “Saat kuliah, saya tidak menemukan satu teman perempuan pun, sayalah satu-satunya perempuan dalam kelas yang berisikan 30 mahasiswa,” kenangnya. Namun ia tak memungkiri bahwa ia merasa minder, meski tidak ada diskriminasi terang-terangan yang ia alami.
Di California State Polytechnic University Ponoma tersebut, ia lantas masuk dalam klub Society of Woman Engineer dan bertemu dengan perempuan-perempuan lain yang belajar teknik. Jane pun lantas berpindah jurusan ke Electrical Computer Engineering dan menjadi salah satu dari tiga mahasiswi yang ada di kelas. Selepas menamatkan S1, Jane bekerja sebagai Product Engineer di perusahaan produsen chip handphone, Skyworks, selama enam tahun. Berangkat dari situ, Jane personal memiliki misi untuk memperkenalkan bahwa engineering sesungguhnya ditujukan untuk semua orang.
'.“Working in STEM is not scary. Tidak menakutkan dalam arti untuk menghilangkan persepsi bahwa bidang ini hanya untuk pria saja. Dari Generation Girl, diharapkan akan banyak terlahir female role model di bidang STEM yang bisa jadi acuan bagi perempuan yang memang tertarik untuk menggelutinya,” ungkapnya. Maka dari itu, Generation Girl tidak hanya dirancang untuk mengajarkan hard skill, melainkan juga soft skill seperti percaya diri dalam mengutarakan pendapat, memberikan presentasi, dan kemampuan berkomunikasi dengan tim.
Persis seperti yang ingin ia sampaikan bahwa passion adalah hal yang mengantarkan langkahnya untuk terus mengejar karier di bidang IT. Namun curiosity yang menjadi kontributor terbesar dalam penemuan passion dan posisinya sekarang, “Saya berharap akan lebih banyak lagi perempuan Indonesia yang dapat menemukan passion di STEM, dan dapat berkontribusi pada negara tercinta kita ini.”
(Artikel ini pernah dimuat dalam majalah Cosmopolitan Indonesia edisi Oktober 2019 / Givania Diwiya / FT / Image: Courtesy of Jane A. Nawilis; Neneng Goenadi; Tania Artawidjaya; Vania Radmila Alfitri / Layout: S. Dewantara / Opening Image: cottonbro from Pexels)