Konsep Soulmate dalam Percintaan: Nyata atau Sekedar Mitos?
Banyak orang percaya bahwa di dunia ini ada satu orang yang diciptakan khusus untuk mereka. Ya, seseorang yang disebut “soulmate”. Keyakinan ini sering diperkuat oleh film romantis, novel, dan budaya populer yang menggambarkan cinta sebagai sesuatu yang ditakdirkan.
Namun, benarkah soulmate itu nyata, atau sekedar mitos?
Asal-Usul Konsep Soulmate
Konsep soulmate sudah ada sejak zaman kuno, salah satunya di mitologi Yunani. Dalam The Symposium, Plato menggambarkan manusia sebagai makhluk yang dulunya memiliki dua kepala, empat tangan, dan empat kaki. Namun, Zeus membelah mereka menjadi dua sebagai hukuman, sehingga manusia terus mencari “bagian yang hilang” dari diri mereka. Teori ini menanamkan gagasan bahwa setiap orang memiliki belahan jiwa yang harus ditemukan agar merasa lengkap.
Namun, dalam perkembangan budaya modern, konsep soulmate juga berubah. Banyak yang meyakini bahwa seorang soulmate bukan hanya pasangan romantis, tapi bisa juga sahabat, keluarga, atau orang yang memiliki ikatan emosional mendalam dengan kita.
Perspektif Psikologi Tentang Soulmate
Dari sudut pandang psikologi, perasaan menemukan soulmate bisa dijelaskan melalui teori keterikatan (attachment theory) dan daya tarik interpersonal. Saat kita merasa sangat cocok dengan seseorang, itu bukan karena takdir semata, tapi karena adanya kesamaan nilai, pengalaman, dan pola pikir yang membuat kita merasa terhubung.
Psikolog sosial seperti Dr. Robert Sternberg mengembangkan teori cinta segitiga, yang menyatakan bahwa hubungan yang kuat terdiri dari tiga elemen utama: keintiman, gairah, dan komitmen. Jika ketiga elemen ini ada, hubungan bisa terasa seperti menemukan soulmate, padahal sebenarnya itu adalah hasil dari usaha dan kecocokan alami, bukan semata-mata takdir.
Menurut Sains, Pasangan adalah Seseorang yang Ditakdirkan atau yang Dipilih?
Secara biologis, kita cenderung tertarik pada orang-orang yang memiliki kecocokan genetik dan kepribadian yang mendukung kelangsungan keturunan. Studi menunjukkan bahwa aroma tubuh, ekspresi wajah, dan pola komunikasi dapat memengaruhi ketertarikan kita terhadap seseorang. Hal ini menjelaskan mengapa beberapa hubungan terasa lebih “alami” dibanding yang lain. Ini bukan karena mereka adalah soulmate, tapi karena faktor biologis dan sosial yang mendukung kecocokan mereka.
Selain itu, penelitian dalam Journal of Social and Personal Relationships menunjukkan bahwa pasangan yang paling bahagia bukanlah mereka yang “ditakdirkan”, tapi mereka yang terus bekerja dalam hubungan dan menyesuaikan diri satu sama lain seiring waktu.
Apakah Kita Hanya Punya Satu Soulmate?
Banyak orang percaya bahwa hanya ada satu soulmate untuk mereka di dunia ini, tapi pandangan ini bisa membatasi peluang kita dalam menemukan kebahagiaan. Dalam kenyataannya, banyak orang menemukan cinta sejati lebih dari sekali dalam hidup mereka, terutama setelah kehilangan atau perpisahan.
Konsep “satu soulmate” juga bisa berbahaya karena menempatkan ekspektasi terlalu tinggi pada pasangan. Jika kita percaya bahwa seseorang adalah soulmate kita, kita mungkin mengabaikan masalah dalam hubungan dan berharap semuanya akan berjalan sempurna tanpa usaha. Padahal, hubungan yang sehat membutuhkan komunikasi, kompromi, dan komitmen, bukan hanya “perasaan ditakdirkan.”
Apakah Konsep Soulmate Itu Nyata?
Jika soulmate diartikan sebagai seseorang yang kita rasa sangat cocok dan nyaman, maka ya, soulmate itu bisa nyata. Namun, jika kita percaya bahwa hanya ada satu orang yang ditakdirkan untuk kita dan tanpa mereka, kita tidak bisa bahagia, maka itu lebih merupakan mitos yang diciptakan oleh budaya dan imajinasi semata.
Alih-alih mencari seseorang yang sempurna secara takdir, mungkin lebih baik berfokus pada membangun hubungan yang sehat dan bermakna. Karena pada akhirnya, soulmate bukanlah seseorang yang ditemukan, tapi seseorang yang kita pilih untuk “saling” dalam banyak hal yang positif.