Terjebak Dating Doomscrolling: Saat Pesimisme Soal Cinta Mulai Mengacaukan Pikiran (dan Kehidupan Asmara) Anda
“Saya sudah sangat lelah menunggu. Kapan giliran saya? Apa saya melakukan sesuatu yang salah? Apa yang salah dengan diri saya?” ujar kreator konten Jules Montgomery, 28 tahun, sambil menangis di depan kamera. “Saya tidak ingin terus-terusan mengandalkan aplikasi kencan dan menjalani kencan pertama di mana kita hanya duduk dan saling menilai apakah kita saling menyukai atau tidak. Semuanya terasa begitu dipaksakan. Saya tidak ingin sendirian selamanya. Kapan saya bisa merasakan jatuh cinta?”
Video yang diunggah awal tahun ini telah ditonton lebih dari 1,4 juta kali, dan menerima ribuan komentar dari perempuan lajang lainnya yang merasa mengalami hal serupa. “Saya mengalami hal ini hampir setiap hari. Saya 27 tahun dan merasa sangat takut,” tulis salah satu komentar. “Saya hanya ingin ada seseorang untuk menonton TV bersama, tapi belakangan ini saya benar-benar ketakutan. Rasanya seperti sedang berduka,” tulis komentar lainnya.
Jika komentar-komentar ini terdengar familier, itu bukan hanya karena kalimat-kalimatnya sangat mirip dengan kutipan film Pride and Prejudice yang sering beredar di media sosial (Anda tahu yang mana: “Saya berusia 27 tahun. Tidak punya uang, tidak punya prospek. Saya sudah menjadi beban bagi orang tua saya. Dan saya ketakutan” – sangat menggambarkan suasana hati!), tapi juga karena video seperti milik Montgomery dan respons emosional terhadapnya—yang menyuarakan keputusasaan terhadap dunia kencan modern—memang tengah ramai di media sosial.
Ya, kita sudah mencapai puncak pesimisme dalam dunia kencan — dan ini bukan hanya terjadi di dunia digital. Keluhan soal rumitnya dunia kencan masa kini marak terdengar, baik di FYP TikTok maupun dalam obrolan langsung di kehidupan nyata. Dulu, saat merasa sendiri secara romantis, kita hanya akan merenung sendirian atau curhat sambil minum koktail bersama sahabat, seperti di serial Sex and the City. Tapi sekarang, Anda bisa scroll 20 hingga 30 video hanya dalam waktu 10 menit dan mendengar banyak orang menyuarakan opini yang sama: bahwa kita semua tampaknya tidak akan pernah menemukan cinta sejati.
Semua orang seperti berlomba-lomba mengeluhkan pembuka obrolan yang itu-itu saja (lalu membagikan tangkapan layarnya), membahas kencan buruk, atau mempromosikan gaya hidup ‘boy sober’ alias berhenti berkencan dan menghapus aplikasi kencan selamanya. Para kreator konten membagikan video berisi pertanyaan “kapan giliran saya menemukan orang yang tepat?”, mengungkap perasaan seperti terjebak dalam revolusi romantis yang tidak mereka minta, atau mengomentari betapa rendahnya standar saat ini—seolah semua orang hanya menginginkan hubungan kasual tanpa komitmen.
Pengguna media sosial juga terus-menerus mengulang statistik yang menyebutkan bahwa satu dari empat orang dewasa akan tetap melajang seumur hidup, meskipun studi yang kabarnya berasal dari Pew Research Center itu tidak bisa ditemukan secara online. Bagi Anda yang masih aktif berkencan, tampaknya Anda perlu memahami teori gaya keterikatan (attachment styles), teori karet gelang (rubber band theory), dan bahkan peta astrologi — kalau tidak, kehidupan cinta Anda disebut-sebut bakal gagal total. Oh ya, menurut mereka aplikasi kencan itu menyebalkan dan Anda tidak akan pernah menemukan hubungan serius di sana — tapi di saat yang sama, tidak ada lagi yang benar-benar bertemu langsung di dunia nyata, jadi... sepertinya kita semua disarankan menyerah saja?
Namun, harus diakui, banyak dari video-video ini sebenarnya dibuat dengan niat baik; memberi ruang bagi orang-orang — terutama perempuan yang berkencan dengan pria — untuk berbagi pengalaman buruk mereka dalam berkencan dan menemukan komunitas online yang bisa memahami mereka. Tapi, sesuatu yang awalnya bertujuan mencari dukungan atau saran ini bisa dengan cepat berubah menjadi jurang tanpa dasar yang dipenuhi kekecewaan romantis dari dunia maya. Contohnya? Waktu yang dulu saya habiskan untuk swipe di Hinge, kini dihabiskan untuk scroll TikTok FYP sambil mendengarkan ratusan orang berbicara tentang betapa buruknya dunia kencan modern — dengan nada putus asa bahwa tidak akan ada yang berubah.
Dan meskipun sejumlah studi menunjukkan bahwa penggunaan aplikasi kencan secara intens dapat dikaitkan dengan meningkatnya rasa kesepian dan gejala depresi, menghapus aplikasi-aplikasi tersebut hanya untuk kemudian menggantinya dengan aktivitas doomscrolling seputar kencan juga bukan solusi yang lebih sehat. Faktanya, kebiasaan menggulir berita-berita negatif secara terus-menerus (doomscrolling) telah dikaitkan dengan peningkatan depresi dan kecemasan, serta munculnya perasaan takut, stres, dan sedih. Menyaksikan video demi video tentang pengalaman kencan buruk orang lain bisa memberikan efek serupa—memperkuat keyakinan negatif yang sudah ada bahwa dunia kencan saat ini memang benar-benar menyedihkan.
Lalu, kenapa kita tetap melakukannya?
Terapis hubungan Jessica Good menjelaskan bahwa video-video ini sangat mudah untuk dikonsumsi secara maraton karena membuat kita merasa dimengerti. Berbicara dengan teman-teman yang sedang berada dalam hubungan bahagia tidak akan memberikan validasi atas pengalaman kita dalam dunia kencan seperti halnya konten-konten online yang menggambarkan realitas kencan masa kini. Namun, jelas Good, pendekatan ini justru bisa membawa kita ke situasi yang tidak ideal, di mana kita terjebak dalam satu sudut pandang saja. “Kita semua ingin dipahami, dilihat, dan didengar, jadi ketika kita online dan menemukan sedikit bias yang sesuai dengan apa yang kita rasakan, kita cenderung lebih tertarik pada konten yang menguatkan narasi atau cerita yang sudah kita yakini,” jelasnya.
Terlalu sering terpapar diskursus negatif tentang kencan bisa membuat kita merasa kehilangan harapan. Namun, dorongan dopamin yang muncul saat kita menemukan konten yang terasa relatable membuat kebiasaan ini sulit dihentikan. “Rasa kecewa dan kehilangan harapan adalah salah satu indikator utama dari depresi,” kata Good. “Kita bisa merasa depresi terhadap satu topik tertentu, misalnya karena merasa tidak akan pernah menemukan pasangan, merasa sendirian, atau ingin menyerah dalam dunia kencan — tapi manusia adalah makhluk kebiasaan, dan kita cenderung melakukan hal-hal yang terasa nyaman, meskipun sebenarnya justru memperburuk perasaan itu. Yang sulit justru adalah melakukan hal yang menantang, seperti berkata, ‘Saya tidak akan mengonsumsi konten semacam ini lagi’.”
Amber, 30 tahun, menyadari bahwa rasa percaya dirinya menurun saat ia mulai berkencan. Akibatnya, ia jadi semakin sering doomscrolling konten-konten negatif tentang kencan dan hubungan. “Saya bisa doomscrolling selama berjam-jam, yang akhirnya membuat algoritma menunjukkan lebih banyak video kencan bernada negatif,” ujarnya. “Hal itu membuat saya merasa putus asa tentang dunia kencan. Saya jadi memunculkan sisi tidak percaya diri yang sebenarnya tidak masuk akal, tapi kini muncul ke permukaan dan memengaruhi kehidupan kencan saya saat ini.”
Ini seperti pertanyaan ayam dan telur: apakah kita pesimis terhadap kencan karena dunia kencan memang seburuk itu sekarang? Atau justru dunia kencan terasa buruk karena kita sudah terlanjur pesimis?
“Pesan utama yang terus berulang saat ini adalah bahwa dunia kencan itu menyebalkan,” kata Ella, 28 tahun, yang baru kembali menjajaki dunia kencan setelah berpisah dari mantan pacarnya selama empat tahun. Tapi dunia kencan yang ia temukan sekarang terasa sangat asing. “Dunia kencan sekarang terasa tegang sekali. Itu bikin saya jadi lebih defensif. Saya jadi berpikir terus, ‘Oke, gimana caranya ketemu orang kalau sekarang nggak ada yang benar-benar mau ngobrol lagi?’ Saya nggak mau meninggal dalam kesendirian. Saya ingin merasakan cinta, seperti semua orang juga ingin merasakannya.”
Jess, 21 tahun, juga setuju bahwa konten tentang kencan yang ia lihat secara online sebagian besar bernada negatif. “Setiap kali saya melihat konten positif—misalnya orang-orang yang bercerita bagaimana mereka bertemu pasangannya lewat aplikasi kencan—komentar-komentarnya selalu kaget dan bilang itu kasus langka,” tuturnya kepada Cosmopolitan UK. “Hal itu membuat saya merasa bahwa kencan itu sulit dijangkau dan menemukan pasangan itu sangat susah. Saya jadi sering merasa khawatir dan cemas.”
Fleeksie, 29 tahun, adalah kreator konten yang mendokumentasikan pengalamannya berhenti berkencan dan menjalani hidup ‘boy sober’. Namun, katanya, sebagian besar konten kencan yang ia lihat secara online cenderung tidak membantu dan isinya itu-itu saja. “Rasanya seperti mendengarkan radio,” jelasnya. “Kita ganti saluran, tapi semua saluran memutar lagu yang sama, dengan lirik yang sama, dan tidak pernah berubah. Meskipun kontennya tidak orisinal atau bahkan tidak memberikan solusi, orang-orang tetap saja ingin mendengarnya.”
Tentu saja, tidak semua konten tentang kencan bersifat buruk. Percakapan online soal menjadikan laki-laki bukan pusat kehidupan (decentring men) justru membantu Fleeksie untuk memandang status lajangnya secara lebih positif, bukan dari sudut pandang menyerah atau pasrah. Dan dia tidak sendirian. Ada sebuah gerakan yang tengah tumbuh subur secara online, yang merayakan kehidupan lajang jangka panjang dan menempatkan hubungan romantis bukan sebagai prioritas utama—digantikan oleh cinta pada diri sendiri dan cinta platonik dalam hidup. Faktanya, konten tentang manfaat berhenti berkencan semakin banyak peminatnya, hampir setara dengan kisah-kisah horor kencan yang pesimistis. Tapi meski gerakan yang merayakan kebahagiaan menjadi lajang ini terasa menyegarkan, tetap saja ada banyak video yang jujur mengakui bahwa kadang, hidup lajang pun bisa terasa sepi dan mengecewakan.
Bagi Amber, mengambil jeda dari TikTok dan Instagram justru membuatnya merasa lebih optimistis dan jauh lebih tenang dalam menghadapi dunia kencan. Sekarang, jika ia butuh saran, ia lebih memilih untuk membagikan ceritanya di subreddit r/datingadvice, yang menurutnya terasa lebih terarah dibandingkan TikTok. “Saya jadi bisa lebih fokus pada diri sendiri dan mengatur emosi saya dengan sedikit lebih rasional,” jelasnya. “Ngobrol dan membahas semuanya dengan teman-teman juga sangat membantu.”
Berbicara dengan teman bisa membantu kita melihat sisi lain dari pencarian cinta yang lebih seimbang. Di dunia maya, orang-orang cenderung cepat sekali mengecap aplikasi kencan sebagai sesuatu yang buruk, padahal kita semua mungkin kenal setidaknya satu atau dua pasangan yang bertemu lewat aplikasi—yang membuktikan bahwa dunia kencan modern tidak seburuk yang sering digambarkan di internet.
Jadi, jika kamu mulai merasa kewalahan dengan segala diskursus negatif soal kencan online, Jessica Good menyarankan untuk “ambil langkah mundur, pasang timer, atau cari aktivitas lain yang bisa dilakukan.” Ia menambahkan bahwa mengonsumsi konten kencan yang relatable dalam jumlah wajar sebenarnya tidak berbahaya, asal kita tahu kapan harus berhenti. “Mungkin kamu habis menjalani kencan yang mengecewakan dan butuh lihat TikTok buat sedikit menghibur diri. Itu bisa jadi valid dalam momen itu. Tapi pertanyaannya adalah: bagaimana kamu bisa menarik diri dari konten seperti itu sebelum semuanya terasa gelap dan tanpa harapan?”
Konten kencan yang negatif terus bermunculan karena memang ada sedikit kebenaran di dalamnya. Buat banyak orang, dunia kencan saat ini memang terasa sulit. Mungkin memang dari dulu sudah begitu. Atau, bisa jadi kenyataan bahwa kita terus-menerus membicarakan betapa buruknya kencan, justru membuatnya terasa lebih parah. Apa pun itu, doomscrolling soal kencan tidak akan membuat kita merasa lebih baik. Media sosial sering kita gunakan untuk mencari saran atau tempat mencurahkan isi hati, tapi sebisa mungkin, lebih baik log off, keluar rumah, dan bicara dengan teman atau komunitas kita di dunia nyata.
Kencan bisa terasa seperti neraka kadang-kadang, tapi bukan berarti kita ditakdirkan untuk sendirian selamanya hanya karena ponsel kita bilang begitu. Jatuh cinta itu istimewa dan memang bisa terasa langka, tapi bukan berarti itu nyaris mustahil seperti yang sering digambarkan di dunia online.
Artikel ini sudah tayang di Cosmopolitan UK. Isi dan bahasa telah disesuaikan oleh penulis dan editor.