Alasan Mengapa Hubungan Transaksional Patut Kamu Waspadai

Nadhifa Arundati 06 Aug 2025

Pernah nggak kamu merasa kalau hubungan kamu berjalan pakai prinsip ‘quid pro quo’? Bayangin gini: pacar kamu bawain secangkir kopi, kamu senyum manis bilang terima kasih, eh tiba-tiba dia nyeletuk, “Jadi kamu yang cuci piring nanti, kan?” Atau kamu mulai ngitung dalam hati berapa kali kamu ngajak kencan duluan, biar nggak “ketinggalan poin.” Awalnya mungkin terasa lucu-lucuan, tapi lama-lama setiap gesture punya tagihan tersembunyi.

Kalau score-keeping udah jadi kebiasaan, dan kamu selalu berusaha match effort biar semuanya seimbang, selamat—bisa jadi kamu lagi ada di hubungan transaksional.

Dan yang lebih bikin capek? Hubungan kayak gini bisa bikin kamu terkuras secara emosional. Salah satu red flag paling besar: Kalau kamu sayang aku, kamu pasti lakuin ini.” Nah, ini saatnya kamu mundur sebentar dan tanya ke diri sendiri—“Aku ngelakuin ini karena cinta, atau hubungan ini udah kayak subscription model?”

Masih bingung? Ini dia tanda-tanda kalau hubungan kamu udah masuk ke ranah transaksional:

 

1. Dia Lebih Utamakan Keuntungan daripada Perasaan

Kalau setiap “Aku kangen” terasa kayak ada invoice tersembunyi, dan kasih sayang jadi kayak barter, itu bukan pacaran—itu negosiasi. Dan cowok kamu bukan jatuh cinta, tapi jatuh cinta sama returns-nya. Cinta nggak seharusnya berasa kayak kontrak bisnis, di mana effort cuma ada kalau ada benefit buat dia. Ini investasi sepihak tanpa ROI emosional. Dan nggak ada yang mau punya hubungan di mana benefit lebih penting daripada orangnya. Capek secara emosional, kantong pun bisa ikut terkuras.

 

2. Kamu Selalu Kejar-kejar Dia buat Check-in Emosional

“Aku nggak suka ngomongin perasaan... bikin vibes jadi rusak.” Kedengeran familiar? Kalau hati kamu langsung nyesek setiap kali mau buka obrolan serius—atau lebih parah lagi, kamu harus berkali-kali ngingetin dia buat hadir secara emosional—ini bukan kamu lebay, ini kamu nggak didengerin. Di titik tertentu, kamu harus tanya ke diri sendiri, “Aku lagi nyampein kebutuhan, atau cuma nyanyi buat orang tuli?” Hubungan transaksional kelihatannya fair, tapi ujung-ujungnya berat sebelah. Jangan cuekin ketimpangan ini—pertimbangkan ulang sebelum kamu benar-benar habis terkuras.


3. Kamu, Dia, dan Scoreboard yang Nggak Kelihatan

Hubungan itu butuh dua orang, tapi kadang kamu sendiri yang ngitungin poin. Bahkan kalau dia nggak ngitung, mental scoreboard kamu bisa bikin hubungan ini pelan-pelan jadi transaksional. Mungkin kamu nggak ngitung hal kecil, tapi kamu tetap sadar ada ketidakseimbangan. Hubungan sehat nggak harus 50/50 setiap waktu—ada naik-turun. Tapi kalau kamu udah ngejar split yang super presisi, intimacy mulai memudar.

 

4. Ekspektasi Dinegosiasikan Kayak Deal Bisnis

Dalam hubungan transaksional, ekspektasi datang bukan secara natural—tapi selalu ada syarat. Kayak bayar dulu sebelum lihat menu. Kamu terus-terusan terjebak dalam siklus give-and-take, di mana setiap harapan harus ada down payment. Mau dia usaha? Pastikan kamu punya sesuatu buat ditawarkan dulu. 

 

5. Hubungan Kamu Berasa Kayak Performance Review

Hubungan ini nggak lagi terasa kayak cinta, tapi kayak audit tanpa akhir. Dia jadi HR, finance, sekaligus quality control—nge-track semua: berapa kali ketemu, berapa kali balas chat, semua kebaikan jadi data. Kamu bukan lagi pacar, kamu pegawai yang lagi di-review nilainya. Value kamu dihitung dari seberapa besar effort yang kamu kasih dibanding effort yang kamu terima.

 

(Artikel ini disadur dari cosmopolitan.in / Perubahan bahasa telah dilakukan oleh penulis, Nadhifa Arundati / Image: Dok. Pexels by cottonbro studio)