Kenapa Perempuan Sering Jadi ‘Therapist’ untuk Pasangannya?

Redaksi 2 25 Aug 2025

Cosmo Babes, apakah kamu merasa lebih sering jadi tempat curhat, penenang, bahkan pemberi solusi untuk pasanganmu? Jika iya, kamu tak sendirian.

Sebuah studi dalam Journal of Marriage and Family (2019) menunjukkan bahwa perempuan cenderung menanggung beban emosional lebih besar dalam hubungan, termasuk menjadi pendengar utama dan pengatur keseimbangan suasana hati pasangan.

Artinya, peran sebagai “therapist” bukan sekadar kebetulan, tapi memang sering dilekatkan pada perempuan.

Fenomena ini membuat banyak orang bertanya-tanya, kenapa perempuan sering jadi ‘therapist’ untuk pasangannya?

Apakah karena sifat alami perempuan yang lebih empatik, atau karena budaya yang menempatkan perempuan sebagai penjaga emosi dalam hubungan? Mari kita bahas lebih dalam lewat beberapa sudut pandang berikut.

1. Kecenderungan Empati yang Lebih Tinggi

Alasan perempuan sering jadi therapist untuk pasangannya

Secara biologis, perempuan cenderung memiliki tingkat empati lebih tinggi dibanding laki-laki.

Menurut penelitian di Journal of Neuroscience (Christov-Moore et al., 2014), otak perempuan menunjukkan aktivitas lebih besar di area yang berhubungan dengan empati dan pengenalan emosi.

Itulah mengapa kamu lebih peka terhadap perasaan pasangan dan mudah berperan sebagai pendengar yang suportif.

2. Ekspektasi Sosial dan Budaya

Alasan perempuan sering jadi therapist untuk pasangannya

Sejak kecil, perempuan sering dibentuk untuk menjadi penyayang, sabar, dan pengertian. Nilai-nilai ini membuatmu terbiasa memposisikan diri sebagai “penjaga emosi” dalam hubungan.

Studi dalam Gender & Society (2018) menunjukkan bahwa perempuan lebih sering diharapkan untuk mengelola kesejahteraan emosional keluarga dibanding laki-laki. Jadi, peranmu sebagai “therapist” sering kali bukan hanya pilihan pribadi, tapi juga hasil dari konstruksi sosial.

3. Pasangan Lebih Nyaman Buka Diri ke Perempuan

Alasan perempuan sering jadi therapist untuk pasangannya

Laki-laki sering diajarkan untuk menekan emosi sejak kecil, sehingga sulit mengekspresikan kerentanan.

Kehadiranmu sebagai pasangan yang aman membuat mereka akhirnya bisa terbuka. Journal of Men’s Studies (2015) menuliskan bahwa banyak pria merasa lebih nyaman berbagi perasaan dengan pasangannya karena tidak takut dihakimi. Maka, wajar jika kamu sering jadi tempat pelarian emosionalnya.

4. Naluri Perawatan dalam Hubungan

Alasan perempuan sering jadi therapist untuk pasangannya

Naluri merawat bukan hanya berlaku pada anak, tapi juga pada pasangan. Ketika melihat pasangan stres atau tertekan, naluri itu otomatis membuatmu ingin menenangkan.

Menurut Attachment Theory (Bowlby, 1988), ikatan emosional dalam hubungan romantis memang sering melibatkan salah satu pihak berperan sebagai “safe haven” bagi yang lain. Kamu mungkin mengambil peran ini tanpa sadar, karena rasa sayang mendorongmu untuk jadi pendukung utama.

5. Resiko Burnout Emosional untuk Perempuan

Alasan perempuan sering jadi therapist untuk pasangannya

Meski terdengar mulia, selalu jadi “therapist” juga punya resiko. Kamu bisa kelelahan secara emosional.

Journal of Marriage and Family (2019) menyoroti adanya “emotional labor gap” dalam hubungan heteroseksual, di mana perempuan lebih sering menanggung beban mendengarkan, menenangkan, dan merawat. Jika tidak diseimbangkan, hal ini bisa membuatmu merasa terbebani, terutama jika tidak didukung balik oleh pasangan.