Tentang Wanita, Angan, dan...

raisa

By: Givania Diwiya

Dengan agenda besar konser di bulan Juni 2020, Raisa Andriana kini tak hanya akan menggaungkan musiknya, melainkan juga misi personalnya untuk perempuan. Setelah satu dekade berkarya, Raisa menemukan sumber kekuatan dari pengaruhnya, dan ia tak berniat untuk berhenti mentransfer dampaknya.

Siapa yang tahu, hanya dengan gagasan venue Gelora Bung Karno sebagai lokasi konser, Raisa didaulat sebagai soloist perempuan pertama di Indonesia yang menggelar konser tunggal berskala stadion?

Ya, rasanya sejarah musik tanah air akan punya catatan baru. Meski terdengar seperti ada banyak excitement sekaligus pressure di sana, tapi dengan memanggul titel ‘perempuan pertama’ tersebut, Raisa yang merasa empowered justru mampu melihat kesempatan penuh momentum ini secara macro-lens: “Konser ini bukanlah tentang diri saya lagi. Ini adalah sebuah gerakan.”

Perkenalkan, inilah Raisa dan pemikiran mendalamnya yang selama ini mungkin tak terdeteksi di permukaan – atau mungkin kekuatan larger-than-life yang baru ia temukan dalam dirinya setelah 10 tahun berkarier. Tapi sebelum ini, Cosmo pun teringat saat beberapa tahun lalu ia menyuarakan definisi the real #girlpower bersama Isyana Sarasvati. Yaitu tentang perempuan yang justru akan lebih kuat jika bersatu, jika bersama saling dukung tanpa saling sikut. Di luar konteks campaign, Raisa punya aspirasi orisinal dalam memaknai kekuatan perempuan yang sesungguhnya.

...

“Saya baru menemukan formula mengapa perempuan saling sikut. Karena secara sadar ataupun tidak sadar, kita merasa bahwa kuota bagi perempuan di posisi ranking tinggi itu sedikit. Jadi jika ada perempuan yang menduduki ranking pertama, perempuan lain merasa harus menggantikannya. Padahal sesungguhnya, semua perempuan bisa berada di mana pun posisinya, tanpa terpaku pertanyaan ‘siapa perempuan yang bisa sukses?’” Cosmo mengangguk saat ia mulai berbicara tentang topik kekuatan perempuan. “Jadi ayo kita berhenti membandingkan diri sendiri dan orang lain. Ayo berhenti berpikir bahwa kita harus mengalahkan orang lain untuk menjadi nomor satu. Because we can be number one together.”

Cosmo jadi teringat speech Emma Watson untuk kampanye #HeForShe mewakili PBB. Ia menyatakan tentang otentisitas yang sejatinya melekat pada setiap individu, yakni ruang kohesif bagi masing-masing untuk menjadi versi terbaik diri mereka tanpa mengontrol pihak lain. Raisa pun mengiyakan, “Itu betul, karena semakin kita mengenali diri sendiri, kita mengembangkan diri sendiri, kita akan tahu kemampuan excellent milik kita sendiri. Itulah yang disebut self-discovery.” Rasanya kata itu tepat, self-discovery. Lalu bagaimana cara Raisa mencapainya?

Memecahkan Teka-teki Raisa

“Ah… self-discovery saya adalah perjalanan yang masih berlangsung hingga sekarang,” jawabnya. Jika Anda familier dengan dirinya – oke ralat, Anda pasti familier dengan dirinya – Anda pasti tahu bahwa ia adalah seorang introver. Bahkan bisa bilang bahwa dirinya punya rasa insecure yang besar. Ia pun menjabarkan beberapa contoh kasus anxiety yang pernah dialaminya, seperti dalam acara meet and greet yang membuatnya sangat ketakutan hingga ingin berjongkok tak berdaya saat crowd menghampiri, atau saat beberapa kali dihadapkan kejadian bahwa di mana ia struggling dengan body image karena industri tak menganggapnya punya tubuh ideal.

Lantas baginya, me-time menjadi cara dalam meraih self-discovery. “Memasak, atau bahkan seklise pampering di rumah, ternyata bisa membuat saya menemukan cara yang tepat untuk tidak membanding-bandingkan diri dengan orang lain. Hal itu juga yang membuat saya tidak terlalu terganggu dengan pendapat orang lain, hingga saya bisa meraih pemikiran bahwa saya menjalani hidup bukanlah untuk menyesuaikan dengan ekspektasi orang lain, melainkan hidup untuk diri sendiri.” Raisa mengaku akan banyak bertanya pada diri sendiri ‘apakah saya benar-benar negatif seperti komentar itu?’. Jika ia mendapati bahwa jawabannya tidak, maka ia akan move on dari perasaan itu. Ia juga tak lagi menelan mentah-mentah perkataan orang tentang tubuhnya. Ia akan fokus terhadap moto ‘I feel good’ dari makan sehat dan olahraga, terlepas dari ukuran celana, berapa pun itu.

...

Sama halnya seperti saat ia hendak memasuki industri musik 10 tahun lalu. Ayahnya bilang: kami mendukung kamu selama kamu bahagia. Tapi jika kamu justru merasa tidak bahagia, maka jangan lakukan lagi. “Hal itulah yang terus saya pegang dan tanyakan pada diri sendiri. Am I happy? Jika jawabannya iya, maka saya akan terus menjalaninya.” Itulah yang membuatnya tetap berkarya hingga hari ini. Atau juga yang membuatnya tetap mendapat label ‘seperti tidak pernah berubah’ dari teman-teman kecilnya. Raisa masihlah orang yang sama seperti saat kita kenal dulu, dalam arti ia tetap berakar dalam jangkarnya yang kuat.

SATU DEKADE CATATAN BARU RAISA

Yang berbeda dari dirinya sekarang adalah caranya dalam membentangkan sayapnya jadi lebih lebar dan menerbangkan arah anginnya secara lebih tepat. Seperti misi personalnya untuk perempuan yang diemban oleh konser mendatangnya. “Lewat konser ini, saya merasa, jika kita bekerja keras dalam semua prosesnya, seperti terus belajar, terus bekerja keras baik di depan maupun belakang layar, kita bisa, kok, mewujudkan mimpi demi mimpi, lalu bermimpi untuk sesuatu yang lebih besar lagi. Dan jika saya bisa membuktikannya untuk diri sendiri serta banyak orang melalui terwujudnya konser ini, mungkin orang lain pun merasa bisa mencapai hal yang sama.”

Ego lamanya pun tak berlaku lagi, karena kini Raisa bekerja untuk hal yang lebih besar daripada suatu konser musik dan namanya. Ia juga ingin mendobrak stigma: sudah biasa bagi artist internasional untuk menggelar konser di GBK, lalu mengapa artist lokal tidak menjadikan hal ini sebagai tren yang sama? Mungkin saja setelah konser ini, artist lokal lain juga terpikir menggelar konser di stadion, hingga semuanya bisa mengerahkan performa terbaiknya. “Saya berharap saya melakukan sesuatu yang nantinya bisa diikuti oleh yang lainnya,” ujarnya.

...

Maka dari itu, Raisa pun tak setengah-setengah menggarap manifestasi karya dan buah aspirasinya ini. “Kami banyak melakukan hal-hal yang mungkin tidak biasa dilakukan dalam venue indoor. Pokoknya, kami membuat sesuatu yang belum pernah dikerjakan sebelumnya!” ujar Raisa bersemangat. Ia sedang mengawinkan antara musik dan koreografi (“Padahal saya tak pernah mengerjakan koreografi sebelumnya, lho!”) dengan segala visual, lighting, blocking, serta treatment panggung. Dengan satu gagasan untuk membuat suatu hal yang spektakuler, ia pun berkolaborasi dengan beberapa nama mumpuni. Dalam visual, ada Isha Hening, salah satu visual artist terbaik di era ini, apalagi ia pernah menggarap visual di GBK meski bukan untuk artist lokal. Ada juga Marco Steffiano sebagai Music Director. Ia dulu merupakan drummer Raisa hingga sekarang punya band miliknya sendiri. Bahkan ia pun sudah sering menjadi MD untuk konser-konser lainnya. “Mungkin nama-nama ini bukanlah nama baru di industri, tapi kami bersama-sama baru pertama kali menggarap misi berskala stadion. Jadi, semangat dan rasa penasaran kami pun lebih berapi. Kami jadi lebih ingin belajar lagi, bekerja lebih keras, karena bagi semua orang, hal ini pun akan menjadi sejarah dalam hidup masing-masing.”

Mungkin ini juga evolusi yang terjadi pada dirinya setelah satu dekade berkarier dalam industri musik. Bukan hanya tentang pelajaran baru dalam musik (“Bahkan baru satu atau dua tahun ini, saya benar-benar bisa melihat mata orang saat berada di atas panggung, lho! Sebelumnya saya sangat takut, tapi sekarang saya bisa menyampaikan lirik ke mata orang, hingga saya bisa melihat apakah ia juga merasakan emosi yang sama dari lirik tersebut,”) namun ia juga mengalami pendewasaan dalam hidup. “Sekarang saya bisa memaknai cinta secara lebih dalam, yang tidak hanya sekadar cinta monyet atau bahwa hubungan hanyalah sekadar man and woman. Sekarang saya bisa menggunakan pemahaman saya tersebut untuk menulis lagu dan berkomunikasi di panggung lebih baik lagi.”

...

MISI TERISTIMEWA RAISA

Seperti single Teristimewa yang belum lama ia luncurkan pada pertengahan bulan Februari lalu. Ini adalah salah satu surat cinta dari Raisa untuk putrinya, Zalina. “Single ini cocok dengan pembicaraan kita sedari tadi,” ujarnya. Sederhananya, lagu ini menceritakan tentang frase ‘beauty comes from within’. Bahwa banyak orang yang puas hanya dengan memoles penampilan luar, namun terkadang lupa dengan kecantikan di dalam dirinya. Begitu pula banyak orang yang merasa bahwa ia hanya dilihat dari tampilan luarnya saja, padahal di dalam dirinya ada keindahan lain yang bisa ia tawarkan pada dunia. “Lagu ini bisa didedikasikan pada siapa saja, contohnya untuk orang-orang yang berjasa dalam hidup kita. Ini adalah lagu cinta yang lebih universal daripada lagu-lagu cinta yang pernah saya tulis sebelumnya,” yakinnya.

Cosmo juga lega bahwa di industri musik tanah air, sosoknya merupakan salah satu persona yang bisa diacu oleh generasi muda di media sosial. Karena seperti yang kita tahu sedari dulu, ia mampu memiliki private identity sendiri meski kehidupannya sebagai penyanyi, istri, ibu, merupakan sebuah public interest. Adakah ia memiliki rencana untuk memberdayakan teknologi agar bisa menciptakan digital environment yang semakin baik? “Saya menyadari bahwa saya belum menggunakan social influence power saya dengan maksimal. Namun saya ingin menggunakannya secara tepat guna,” ujarnya. Ia pun ingin meningkatkan kesadaran pada para pengguna media sosial bahwa dunia maya ini bukanlah kehidupan nyata. Apalagi dengan remaja usia 13 atau 14 tahun yang sudah bermain media sosial, ada tanggung jawab moral yang diemban figur publik sepertinya. “Terutama soal bullying, saya ingin sekali bisa terlibat dalam isu ini, karena saya pun merupakan korban.”

Ia pun menambahkan, “Saya mungkin belum punya terlalu banyak waktu untuk membuat gerakan yang saya cetus sendiri. Tapi jika ada gerakan anti-bullying yang bisa saya dukung, I will support. Because being a teenager is already hard enough, belum lagi pencarian identitas diri. Dan kalau masih harus mengalami digital bullying… astaga.” Empati itu pula yang membuatnya teguh terhadap prinsip privasi, tak terkecuali bagi dirinya sendiri serta putrinya. “Being a mother is already hard enough too. Dan kalau harus dihakimi oleh puluhan juta orang, saya pasti tidak akan kuat. Makanya saya tidak cari penyakit di media sosial.”

Peran sebagai ibu merupakan pelajaran baru bagi Raisa. Saat proses makeup untuk pemotretan cover ini pun ia menyebutkan, “Jika saya berfoto bersama bayi saya dengan tatanan makeup dan hair yang dikerjakan oleh lima orang glam team di pemotretan ini, lalu saya mengunggahnya ke Instagram, sementara para ibu di luar sana tahu bahwa hal semacam perfection ini tidak nyata, saya akan merasa jadi orang yang sangat buruk!” Ia benar, toh, sedari awal ia bisa disorot mata publik berkat musiknya, jadi ia pun hanya akan berfokus pada hal itu saja (sambil bilang: “Meski saya saaangaaat suka berbicara tentang putri saya!”). Semakin lama pun orang-orang semakin mengerti tentang privasi tersebut. Bahkan rasanya publik – tak terkecuali Cosmo, sungguh! – bisa melupakan fakta-fakta lain tentang kehidupan pribadinya tersebut, kecuali musik Raisa.

...

RAISA LEBIH DARI SEBUAH NAMA

“Sejak menjadi ibu, saya baru tahu bahwa perempuan ternyata sekuat dan sepenting itu keberadaannya dalam society. Saya juga membicarakan ini dengan suami, seperti tentang fakta bahwa male leader itu jauh lebih banyak daripada female leader. Tapi meskipun jumlah female leader tak banyak, pasti selalu ada perempuan kuat dalam hidup para male leader. Semisal Habibie ada Ainun. Soeharto ada Tien. Obama ada Michelle. Di belakang layar, selalu ada sosok perempuan kuat. Saya jadi terpikir bahwa perempuan itu jauh lebih penting dari sekadar end result,” terang Raisa.

Dalam arti bagaimana seseorang bisa memiliki wawasan luas dan punya kekuatan mental – itu adalah peranan dari seorang perempuan yang menanamkan hal-hal tersebut sedari kecil setiap hari. Dan peranan perempuan tersebut jauh lebih lama dan jauh lebih dalam daripada sekadar end result (contoh end result adalah individu yang menjadi presiden atau profesi lain). “Perjalanan memupuk yang panjang inilah yang jarang dibahas, karena orang cenderung melihat end result akan menjadi apa seorang perempuan tersebut saat sukses. Padahal menurut saya, empowerment bisa dilakukan di mana saja, dalam bentuk apapun. Dan tidak ada profesi yang disebut kecil, tidak ada yang disebut hanya ibu rumah tangga. Karena peranan perempuan jauh lebih vital daripada end result di dalam society ini.”

Pada akhirnya, Raisa tampaknya berhasil memanifestasikan woman empowerment yang ia maknai. “Empowerment is to recognize your strength in any simple form,” ujarnya. Ia menjadi sosok perempuan yang mengerahkan kekuatan versi terbaik dari dirinya, dalam wujud multi perannya sebagai seniman, pasangan, hingga sebagai ibu. Ia menanamkan wawasan serta kekuatan mental lewat musik, konser, serta lebih dari itu, komunitas. Mungkin ia baru menyadari influence power yang dimilikinya setelah satu dekade, namun yang kita tahu setelah ini, ia tak akan menghentikan dayanya lagi.

...

Photographer: Ifan Hartanto. Fashion Editor: Dheniel Algamar. Beauty Editor: Astriana Gemiati. Fashion Stylist:Yovita Pratiwi. Makeup Artist: Marlene Hariman. Hairstylist: Rangga Yusuf. Nail Art: @paintitnails (081386037133).

On Raisa: Pink dress look: Dress, Alice Mccall – Masarishop.com; Decoration, Blooming Elise Flowers. Grey dress look: Dress, Peggy Hartanto – Masarishop.com; Accessories, Bulgari. Green dress look: Dress, Kate Spade; Accessories, Bulgari. Floral dress look: Dress, Toton; Bracelet, Bulgari. Red suits look: Suits, Max Mara; Bralette, Oysho; Decoration, Blooming Elise Flowers; Accessories, Bulgari. Blue suits look: Suits, Max Mara; Accessories, Bulgari. Pink dress look: Dress, Alice Mccall – Masarishop.com; Decoration, Blooming Elise Flowers.



© 2020 Cosmopolitan Indonesia