Dian Sastrowardoyo Bicara Soal Kekuatan Sesungguhnya Para Perempuan
Merayakan International Women's Day 2021, Cosmo mengajak sejumlah selebriti perempuan Indonesia untuk berbicara tentang kekuatan sesungguhnya dari seorang perempuan, cara terbaik untuk menjadi berdaya, hingga hal yang paling disyukuri dengan menjadi seorang perempuan. Plus, kami pun melengkapinya dengan deretan ilustrasi yang khusus dibuat oleh para ilustrator perempuan berbakat Tanah Air! From woman to woman! Mari kita berbicara mengenai topik istimewa ini bersama Dian Sastrowardoyo.
Dalam memperingati Hari Perempuan Internasional (8 Maret), bagaimana cara kamu memaknai dan merayakan momen yang didedikasikan untuk perempuan ini?
Mungkin saya akan pergi lunch dengan teman-teman saya yang perempuan, karena mereka sangat empowerment dan mereka bisa memberi kekuatan pada saya.
Bagaimana seorang Dian Sastrowardoyo memaknai kekuatan sesungguhnya dari seorang perempuan?
Saya pikir kekuatan sesungguhnya dari seorang perempuan adalah saat mereka bisa menggunakan sisi femininitasnya untuk memperjuangkan hidupnya, seperti menggapai cita-cita mereka dan mengekspresikan diri. Namun di saat yang bersamaan mereka juga tidak kehilangan sisi femininnya.
Menurut kamu, apa aksi kecil/sederhana yang perempuan bisa lakukan untuk menjadi berdaya dan mampu membuat impact (baik bagi dirinya sendiri, lingkungannya, hingga komunitasnya)?
Pertama-tama ketika kita ingin menjadi berdaya untuk orang di sekita kita, tentu ini semua harus dimulai dari diri sendiri. Ia harus bisa menjadi sosok yang independent dan percaya diri. Dan kepercayaan diri tersebut bukan merupakan sesuatu yang ditentukan dan didikte oleh orang lain. Itu harus sesuatu yang berasal dari dirinya sendiri, sesuai dengan konsep dirinya. Kamu harus mencintai diri sendiri terlebih dahulu. Jadi ini juga jelas mengarah kepada konsep self-love.
Kita semua harus memiliki healthy amount of self-love, baru bisa menjadi lebih percaya diri dan bisa membawa diri kita dengan baik. Sehingga kita bisa berkontribusi ke masyarakat luas, entah itu dalam hal karier atau lainnya. Jadi jangan sampai setelah sukses kita baru memiliki self-worth. Tetapi untuk sukses kita harus mempunyai self-worth terlebih dahulu.
Apa saja hal-hal yang kamu lakukan untuk diri sendiri agar selalu merasa berdaya dan kuat?
Saya menjaga kesehatan, kulit, dan tubuh saya. Saya juga berolahraga lalu makan dengan menu yang sehat dan alami. Saat berinteraksi dengan orang dan keluarga, saya juga mencoba untuk selalu memiliki dua point of view. Point of view yang tidak akan menyakiti orang lain dan menyakiti diri saya sendiri. Bisa dibilang saya benar-benar menjaga diri saya sendiri, terutama dari orang-orang dan situasi yang bisa menyakiti saya. Tindakan harming itu tidak harus selalu tentang fisik lho, karena bisa juga menyerang secara mental health. Seperti misalnya kamu merasa bahwa pekerjaan yang kini diambil berujung menjadi toxic untuk diri sendiri. Ada kalanya kita harus menjaga diri sendiri dan menghindar dari situasi dan suasana kerja yang bisa membuat mental health kita terganggu. Harus sayang dan jujur pada diri sendiri.
Adakah satu nasihat terbaik dari sosok mentor perempuan yang pernah kamu terima, yang kamu jadikan prinsip untuk mengarungi karier ataupun kehidupan sehari-hari?
Salah satu nasihat terbaik yang pernah saya dapatkan dari mentor saya adalah nomor satu jangan pernah melupakan Tuhan, dan yang kedua jangan terlalu memikirkan apa yang orang lain katakan terhadap kamu. Karena yang terpenting adalah bagaimana kamu memikirkan tentang diri kamu sendiri dan apa yang akan kamu lakukan. Orang Indonesia dan kultur Timur itu sering sekali didikte untuk memikirkan omongan orang lain. Kita takut menjadi omongan orang lain dan segala hal dinilai dari bagaimana cara kita pleasing other people. Padahal banyak dari mereka yang memiliki krisis kepribadian karena mereka tidak tahu siapa dirinya dan apa yang mereka inginkan dalam hidup.
Itu semua karena dari lahir kita seolah sudah dibentuk untuk menyenangkan hati orangtua, masyarakat, dan komunitas. Tidak jarang kita bertanya dalam hati "Apa yang sebenarnya saya inginkan?" Jadi kamu harus mengetahui siapa dirimu yang sesungguhnya. Dan terkadang untuk menemukan diri sendiri, you need to get lost first. Get lost itu harus macam-macam, seperti keluar dari rutinitas harian, travelling, atau get lost in a book. Perempuan Indonesia itu jarang sekali berani get lost to find herself, padahal menurut saya itu adalah hal yang penting.
Ilustrasi oleh Monica Hapsari.
Menurut kamu, faktor apa saja yang bisa membuat seorang perempuan sukses?
Saya rasa faktor utamanya adalah kamu harus memiliki sense of self-worth. Sehingga nantinya kamu tidak akan terjebak dalam karier yang bisa merusak self-worth tersebut. Dengan self-worth, kamu juga tidak akan terjebak dalam relationship yang bisa memusingkan dan merugikan diri kamu. Kadang saat ini banyak sekali karier dan hubungan yang bersifat toxic. Jadi jika kamu memiliki sisi dan pemikiran yang jelas atas siapa diri kamu dan konsep healthy self-love. kamu akan tahu mana yang baik atau buruk untuk dirimu sendiri.
Apakah kamu pernah menghadapi tantangan terberat dalam karier, karena masih ada batasan dalam gender di bidang kerja? Jika pernah, bagaimana Dian menghadapinya?
Tentu pernah! Ketika saya masih bekerja dan ngantor sebagai seorang konsultan, saya pernah bertemu dengan satu mentor laki-laki. Saya termasuk fans dari perjalanan karier beliau dan ingin bisa sesukses dirinya. Ketika saya mendekati beliau dan menyampaikan keinginan saya untuk belajar, saya malah mendapat pertanyaan yang sangat berhubungan dengan gender. Beliau bilang, "Terus kalau kamu nantinya menikah bagaimana? Tidak ada artinya dong saya mentorin kamu sampai sukses, karena pada akhirnya ketika perempuan menikah maka kariernya akan kandas!"
Wah dari situ saya sakit hati sekali, karena beliau menganggap saya hanya sebatas gender saya. Sementara gender saya semestinya tidak perlu dijadikan penghalang jika beliau memang seorang mentor yang baik. Saya merasa sangat dikecilkan sekali karena saya seorang perempuan. Kenapa saya harus less valuable dari anak didiknya yang laki-laki? Kesannya jika pria sudah menikah lalu punya anak, dll; seperti punya alasan dari keluarganya sendiri untuk mendahulukan karier dibanding mengurus keluarga. Padahal meski mereka adalah seorang ayah, mereka juga memiliki tanggung jawab yang sama untuk keluarganya. Kenapa laki-laki boleh mengejar karier dan absen di rumah, sedangkan perempuan tidak boleh?
Bagi saya orang tersebut harus diedukasi secara gender agar tidak bias. Saya secara tidak sadar akhirnya ingin menunjukkan kepada dunia dan mentor saya tersebut, bahwa saya masih tetap bisa berkarier meski saya sudah menikah dan menjadi seorang ibu. Dan saya masih memiliki kehidupan keluarga yang sehat dan imbang.
Menurut Dian, mengapa penting untuk saling mendorong perempuan agar sama-sama maju? Dan apa hal-hal sederhana yang bisa kita lakukan kepada sesama perempuan untuk saling memberi dukungan dan kekuatan?
Kenapa perempuan harus saling mendukung? Karena perempuan membutuhkan satu sama lain untuk maju. Dan suksesnya perempuan itu harus dibagi dan bersama-sama, tidak bisa sendiri. Jika kita mendapat mentor laki-laki ada kalanya mereka tidak mengerti apa saja tantangan dan pressure yang harus dihadapi oleh perempuan dalam hal berkarier. Kita membutuhkan lebih banyak perempuan untuk menjadi mentor. Seperti contohnya Ibu Sri Mulyani atau Ibu Susi Pudjiastuti, itu semua bisa kita jadikan mentor. Salah satu hal yang bisa kamu lakukan untuk meng-empowerment orang lain adalah dengan melakukan yang terbaik dalam karier. Karena kalau kamu sukses, kamu akan menjadi mentor untuk junior lainnya yang sedang menuju kesuksesan tersebut. Saat kamu sukses, kesuksesan tersebut tidak hanya untuk diri sendiri tapi juga untuk adik-adik dan penerus kita. Jangan pernah berpikir bahwa menjadi sukses adalah hal yang egois. Karena kesuksesan kamu tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga untuk komunitas dan sekitarmu.
(Giovani Untari / FT / Images: Dok. Dian Sastrowardoyo / Ilustrasi Quotes: Monica Hapsari / Opening Image Layout: S. Dewantara)