Review Film: Joko Anwar Mengangkat Isu Sosial di 'Pengepungan di Bukit Duri'

Ellena Azisia 22 Apr 2025

Berangkat dari keresahan Joko Anwar terhadap sistem pendidikan Indonesia, Pengepungan di Bukit Duri (2025) mengangkat tema besar mengenai sisi gelap anak muda sekaligus mengangkat isu rasisme di Indonesia. Selain itu, film bergenre action-thriller ini juga mengisahkan tentang kerusuhan dan kekerasan yang menargetkan etnis tertentu yakni Tionghoa.

Joko Anwar sendiri mengungkapkan bahwa ia telah menulis naskah ini sejak 17 tahun silam, namun belum menyelesaikannya hingga akhirnya ia berhasil merampungkan di tahun 2024. Di filmnya yang ke-11 ini, Joko menggandeng Morgan Oey, Omara Esteghlal, Satine Zaneta, Endy Arfian, Fatih Unru, Hana Malasan, Dewa Dayana, Kiki Narendra, dan beberapa nama-nama aktor lain untuk beradu peran di filmnya.

Sutradara kelahiran tahun 1976 ini turut menyampaikan bahwa keresahannya ini bisa saja terjadi dalam waktu dekat jika keadaan Indonesia masih sama seperti sekarang. “Sebuah film yang bercerita tentang situasi Indonesia di tahun 2027 kalau misalnya kita tidak mulai memperbaiki diri, tidak menempatkan pendidikan sebagai prioritas, dan mulai memikirkan bagaimana caranya memutus rantai kebudayaan (negatif) di Indonesia, bukan hanya kekerasan fisik, tapi juga kekerasan non fisik,” ungkap Joko dalam obrolan di salah satu podcast.

Tanpa perlu berlama-lama, Cosmo akan segera mengulas film ini. Keep scrolling, girls!

SINOPSIS

Berlatar waktu distopia di tahun 2027 yang penuh kekerasan dan rasisme di mana etnis Tionghoa kerap kali mendapat ujaran kebencian serta kekerasan. Edwin, seorang laki-laki beretnis Tionghoa yang pernah mengalami kekerasan pada kerusuhan di tahun 2009 diminta oleh kakaknya, Silvi untuk mencari anaknya. Ya, Silvi terpisah dengan anaknya sejak lahir karena suatu hal yang tak akan Cosmo jelaskan karena akan menjadi spoiler. Silvi hanya mengetahui bahwa anaknya berada di kawasan Jakarta Timur. Dan Edwin memutuskan untuk mengajar seni di sekolah-sekolah di Jakarta Timur. Hingga sekolah kelima, Edwin belum juga menemukan keponakannya. Sampai akhirnya Edwin mengajar di sekolah terakhir di Jakarta Timur yaitu, SMA Duri yang terletak di kawasan Bukit Duri.

Sekolah tersebut berisi “anak buangan” yang didominasi dengan anak-anak berandal dengan latar belakang kurang beruntung. Sejak hari pertama mengajar, Edwin harus menghadapi anak-anak tersebut. Yes, saking tidak bermoralnya, mereka berani menghina guru. Terlebih, karena Edwin beretnis Tionghoa, maka ia menjadi sasaran empuk Jefri dan kawan-kawannya yaitu, Dotty, Gerry, Sim, Reihan, Culap, Jay, dan Anto yang kerap melakukan kekerasan terhadap etnis tertentu. Hingga tiba di waktu di mana Edwin serta dua muridnya dan seorang guru di SMA Duri dikepung oleh Jefri dan kawan-kawannya. Jefri hendak menyerang Edwin, namun tiga orang lainnya ikut terancam. Tepat di hari Jefri menyerang Edwin, terjadi kerusuhan yang serupa dengan 17 tahun lalu. Lantas, apakah Edwin dapat menghadapi bengisnya Jefri dan segera menemukan keponakannya tersebut?

REVIEW

Penjelasan latar belakang karakter yang masih bisa di-improve

Seperti yang sudah Cosmo jelaskan, SMA Duri adalah sekolah yang menampung “anak buangan”. Namun ternyata tak semua anak yang bersekolah di situ memiliki sifat menyimpang. Contohnya, Rangga dan Khristo. Apa yang menjadi latar belakang mereka bersekolah di situ? Bukankah jika mereka menimba ilmu di SMA Duri, mereka juga bisa terancam dengan kekejaman Jefri dan kawan-kawannya?

Di film ini, yang jelas memiliki latar belakang buruk hanyalah Jefri, ia kerap mendapat perlakuan tak pantas dari orang tuanya, sehingga itu menjadikan dirinya yang sekarang. Beberapa teman Jefri juga dijelaskan latar belakang keluarganya, dan penonton pun bisa menangkap bahwa hal-hal tersebut lah yang menjadi alasan anak-anak tersebut tak bermoral. Rasanya akan lebih baik bila bisa latar belakang para karakternya bisa dijelaskan secara mendetail. 

Mengangkat tema yang berani

Seperti yang kita ketahui sekarang, sistem pendidikan di Indonesia masih belum merata hingga saat ini. Joko Anwar ingin menyampaikan, bahwa ini yang akan yang terjadi jika sistem pendidikan Indonesia masih sama seperti sekarang. “Ketika saya membuat film, saya memilih untuk memulai dari satu keresahan yang harus diutarakan ke publik dan nantinya bisa menjadi bahan pemikiran untuk para penonton,” ungkap Joko Anwar di sebuah podcast.

Salah satu yang memicu Joko untuk membuat film ini karena isu yang ia angkat cukup dekat dengan apa yang terjadi di Indonesia dan Joko sendiri mengalaminya. Contohnya, ia pernah diajak untuk pulang bersama teman-temannya dengan mengendarai mobil temannya. Di tengah jalan, teman Joko menyerang seorang anak beretnis Tionghoa. Dan kejadian tersebut ada di salah satu scene film ini. Keberanian Joko dalam film ini adalah ketika ia juga mengangkat tema kerusuhan di Jakarta serta rasisme. Maka, isu-isu yang diangkat pun cukup berani sebab sangat dekat dengan apa yang terjadi sekarang.

Adegan perkelahian yang memukau

Berbeda dengan beberapa film terakhirnya yang bergenre horror, kali ini Joko membuat film action-thriller. Aksi Omara Esteghlal sebagai Jefri, siswa SMA Duri yang berandal kerap mempertontonkan dirinya melakukan adegan fight. Selain itu, Morgan Oey sebagai Edwin, laki-laki beretnis Tionghoa yang kerap dirundung juga sering muncul dengan adegan fight pada film ini. Joko Anwar mengungkapkan bahwa adegan fight yang hadir di Pengepungan di Bukit Duri adalah street fight. Ya, ini karena yang melakukan adegan kekerasan adalah murid SMA dan seorang guru yang sedang membela diri. Namun, adegan tersebut berhasil membuat suasana menjadi mencekam.