Suka Serial Sirens dari Netflix? Simak Makna Fesyen Para Tokohnya
Dalam Sirens, serial terbaru dari Netflix, tidak ada yang lebih lantang dari hal-hal yang tidak diucapkan—kecuali mungkin, pakaian yang dikenakan para karakternya. Berlatar satu akhir pekan penuh intrik di pulau fiksi Port Haven, Sirens mengangkat tema pengkhianatan, privilese, dan satir sosial. Namun elemen yang paling mencolok justru terletak pada gaya berpakaian para tokohnya.
Disutradarai oleh Stéphanie Di Giusto dan dibintangi Julianne Moore sebagai Michaela Kell, Milly Alcock sebagai Simone DeWitt, dan Meghann Fahy sebagai Devon DeWitt, serial ini menghadirkan fesyen bukan sekadar pelengkap adegan, tapi sebagai “karakter keempat” yang tak kalah penting—dan paling manipulatif.
Michaela Kell: Manifesto Minimalis
Julianne Moore sebagai Michaela Kell tak perlu berteriak untuk menunjukkan kekuasaan—penampilannya sudah cukup bicara. Gayanya merupakan perwujudan dari konsep “stealth wealth”: mewah, klasik, nyaris tanpa merek mencolok. Bayangkan The Row, Gabriela Hearst, dan Loro Piana—tanpa logo, tanpa detail berlebihan, hanya potongan busana yang sangat presisi dan mahal.
Warna-warna netral seperti tulang, abu-abu, dan taupe mendominasi. Siluetnya tajam dan bersih—turtleneck dari kasmir, gaun kolom panjang, hingga trench coat berpotongan tegas. Ini bukan gaya yang menjadikannya sebagai pusat perhatian melainkan sebuah pernyataan bahwa ia tak membutuhkannya.
Simone DeWitt: Dari Pastel Menuju Pendewasaan
Simone, diperankan Milly Alcock, membuka cerita dengan gaya manis khas anak orang kaya baru—penuh warna pastel, mutiara, dan motif cerah ala Lilly Pulitzer. Semuanya mengingatkan pada “musim panas pertama di Martha’s Vineyard.”
Namun seiring perkembangan cerita, Simone juga ikut berubah. Warna-warna cerah digantikan oleh palet yang lebih tenang seperti krem, navy, dan oxblood. Gaunnya jadi lebih panjang, siluetnya lebih tenang. Ia tak lagi berdandan untuk terlihat manis, tapi untuk bertahan. Gaya barunya mengingatkan pada label seperti Totême, Joseph, hingga sentuhan vintage Ferragamo . Setiap busana mencerminkan pergeseran identitas dan krisis eksistensi yang ia alami.
Devon DeWitt: Pakaian yang Pragmatis
Devon (Meghann Fahy) jelas berbeda. Gaya preppy klasik Port Haven tidak berlaku baginya. Ia tampil dengan potongan oversized, boots kokoh, dan warna gelap seperti hitam pekat dan hijau army. Ia tampil fungsional, tanpa basa-basi.
Tidak seperti Michaela yang membungkam lewat minimalisme, atau Simone yang menyamarkan luka lewat gaya feminin, penampilan Devon adalah bentuk perlawanan terbuka. Ia mengenakan pakaiannya seperti seragam perang—bukan untuk menyatu, tapi untuk menegaskan bahwa dirinya tidak berasal dari dunia ini.
Dalam satu adegan, ia mengenakan kemeja Oxford longgar dan celana berpotongan longgar—tampak seperti gaya era awal label Céline. Sederhana, tapi menyimpan kekuatan.
Busana sebagai Refleksi Karakter
Desainer kostum Caroline Duncan sukses menjadikan Sirens sebagai kritik tajam pada gaya hidup “old money” melalui sentuhan preppy yang dramatis. Namun, semakin cerita berkembang, fesyen juga ikut berubah. Warna yang lebih lembut, potongan lebih tegas, serta layering yang makin kompleks menjadi gambaran konflik batin para karakter perempuan dalam cerita ini.
Salah satu adegan paling simbolis muncul saat kaki telanjang Simone menyentuh lantai batu dingin, sementara ia mengenakan gaun vintage Oscar de la Renta. Sebuah kontras yang menyampaikan pesan: tidak ada satu pun karakter yang benar-benar berpakaian sesuai dengan siapa mereka sebenarnya.
Di Sirens, busana bukan hanya pelengkap visual—tetapi bagian dari cerita itu sendiri. Lewat warna, potongan, dan pilihan label, para karakter mengungkap siapa mereka, apa yang mereka sembunyikan, dan bagaimana mereka ingin dilihat. Fesyen dalam Sirens adalah bentuk performa, dan setiap karakter berpakaian untuk menipu—termasuk diri mereka sendiri.
Artikel ini sudah tayang di Cosmopolitan India. Isi dan bahasa telah disesuaikan oleh penulis dan editor.