Si Pembela Kaum Miskin, Marina Kusumawardhani

Salli Sabarrang 18 Jan 2017

Masih ingat dengan kisah seorang wanita yang menolong seekor anjing di India yang sempat viral di media sosial? Yes, kutipan interview dan cerita menginspirasi yang dimuat di salah satu portal berita Indonesia menuai begitu banyak likes dan share oleh ribuan akun Facebook. Dialah Marina Kusumawardhani, wanita yang kini menjadi pembela para kaum miskin karena pengalaman berharga yang ia dapatkan dari kunjungannya ke India tersebut.

Hi Marina, beberapa waktu yang lalu perjalanan Anda ke India sempat viral di media sosial. Sepertinya India memberikan pengalaman yang berharga ya sehingga Anda bertekad untuk concern di dunia poverty.

Bagi saya, perjalanan adalah sesuatu yang sangat berharga dan pribadi. It's nice to be appreciated, makanya sempat kaget juga ketika artikel mengenai perjalanan saya ini viral di media sosial. Saya suka traveling mencari inspirasi dan ilham. India merupakan gudang dari extreme poverty. Sebanyak 70% extreme poverty yang ada di dunia itu terletak di India, sedangkan Indonesia hanya 18%. Pendapatannya hanya USD 1.25  per hari menurut World Bank. Jadi mereka benar-benar tidak punya rumah. Kebayang kan bagaimana masuk ke sebuah kota yang atmosfernya begitu berbeda, melihat banyak orang hidup tanpa basic human dignity. Jadi ke India itu benar-benar sport jantung.

Cosmo dengar Anda juga pernah ke Bangladesh untuk belajar lebih dalam tentang kemiskinan.  Apa yang Anda dapatkan ketika memutuskan “hijrah” ke sana?

Waktu itu Bapak Muhammad Yunus, seorang peraih nobel perdamaian dan social entrepreneur berpidato mengenai social business. Terus terang saya sangat tersentuh dengan apa yang ia sampaikan karena beliau punya visi yang sama dengan orang-orang yang ingin melakukan perubahan. Tapi bedanya jalan keluar yang ia berikan sangat praktis dan begitu mudah dilakukan.

Saya ngobrol sebentar, sekitar 5 menit, dan mengutarakan keinginan untuk bekerja sama dengan beliau. Setelah itu dia mengatakan “Jika sudah lulus, ke Bangladesh saja. Di sana banyak hal yang bisa Anda riset.” Jadi, setelah lulus S2, saya langsung ke Bangladesh, 6 bulan melakukan riset ke pedalaman dan ke desa-desa, tinggal di rumah penduduk dan membuat riset tentang renewable energy. Di sini saya belajar bahwa keunggulan dari bisnis sosial adalah setiap orang bisa melakukan bisnis tapi pada saat bersamaan dia bisa mengangkat harkat hidup orang banyak.

Wow, Anda ternyata melakukan banyak hal! Bahkan Anda juga pendiri startup bernama Generation Sosial. Apakah startup in juga berhubungan dengan poverty?

Waktu di Austria, saya sempat membuat startup bernama Generation Social dan masih berjalan hingga sekarang. Beberapa waktu yang lalu, kami baru saja bekerja sama dengan UNESCO. Kami membuat training untuk melatih anak-anak pedalaman untuk membuat aplikasi digital. Generation Social ini memiliki misi yang sama dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, tapi lebih untuk memberikan training dan consulting kepada generasi muda.

Apakah Generation Sosial ini dikhususkan untuk anak muda yang berada di pedalaman saja?

Dua-duanya, di pedalaman juga di kota besar. Target utamannya adalah ingin membuat generasi muda di perkotaan tahu cara menjadi social entrepreneur. Sedangkan di pedalaman seperti yang dilakukan bersama UNESCO kemarin, harus lebih teknis seperti pelatihan digital application atau pelatihan kewirausahaan.

Kalau bicara tentang kemiskinan sepertinya membutuhkan dana yang besar dan ini selalu saja menjadi hambatan bahkan bagi pihak pemerintah. Sebagai orang yang sudah lama bergeletut dengan dunia poverty, apakah ada solusi yang bisa Anda tawarkan?

Untuk mencapai dampak sosial yang lebih besar, saya bekerja sama dengan Kemenko Perekonomian dan Asian Development Bank, karena keduanya merupakan institusi yang sudah establish. Sekarang saya join dengan Kemenko Perekonomian. Di sana, saya membuat kelompok kerja di bawah Deputi Kementrian. Kelompok kerja ini mengenai bisnis inklusif dan aplikasi digital. Bisnis inklusif ini adalah bisnis yang harus mempunyai social impact yang besar dan dia juga harus mengikutsertakan orang-orang yang ada di bawah garis kemiskinan. Jadi, Generation Social ini bisa dibilang perangkat yang mendukung kelompok kerja yang dicanangkan oleh Kemenko Perekonomian.

Apakah benar kemiskinan di Indonesia sudah dalam taraf mengkhawatirkan?

Data terakhir 2015, extreme poverty di Indonesia 18%, BOP (button of pyramid) yang hidup di bawah USD 3 per hari itu sekitar 70%. Jadi Indonesia bisa dibilang negara developing country karena yang hidup dengan low income masih 80% dari populasi. Deep class atau upper class 20% saja. Yang paling memprihatinkan adalah mereka yang hidup di kota besar.

Menurut Anda, bagaimana peran pemerintahan Jokowi dalam menanggulangi kemiskinan di Indonesia?

Sejauh ini peran pemerintahanan Jokowi dalam menangani kemiskinan sudah cukup besar, dengan adanya Kartu Indonesia Sehat yang menjamin social security masyarakat Indonesia. Kartu Indonesia Pintar untuk kemajuan pendidikan serta program KUR (Kredit Usaha Rakyat). Bagaimana caranya masyarakat miskin bisa mengangkat derajat kehidupan mereka kalau tidak memiliki akses untuk membuat usaha kecil-kecilan seperti membuat gerobak bakso atau membuka warung mie. Jadi menurut saya, usaha kredit dan modal itu sangat penting untuk peningkatan derajat kemiskinan.

Bagaimana menurut Anda tentang aplikasi digital berbasis bisnis sosial?

Kementrian Koordinator Perekonomian saat ini membuat kelompok kerja sebagai wadah bagi orang-orang yang ingin memberikan kontribusi atau ikut movement dalam memberantas kemiskinan. Saya melihat banyak social entrepreneur muda yang membuat aplikasi digital yang membantu masyarakat golongan bawah. Misalnya aplikasi Bawang 5 Kilo yang bisa Anda gunakan untuk membeli bawang melalui aplikasi. Kemudian aplikasi bernama Pasar Laut yang memungkinkan Anda membeli ikan langsung melalui nelayan dengan menggunakan aplikasi. 

Dengan adanya kelompok kerja dari Kemenko Perekonomian ini diharapkan lebih banyak lagi inisiatif-inisiatif yang bisa diidentifikasi agar semakin luas dampak sosial yang ditimbulkan seperti terbukanya banyak lapangan kerja baru.

 

Last, apa sih enaknya menjadi social entrepreneur?

Kita ini adalah gen Y yang entah mengapa senang dengan hal-hal yang istilahnya “Bagaimana caranya mengubah dunia, change the world for the better”. That's why, social entrepreneur itu sangat appeal dengan generasi kita karena memungkinkan generasi muda ini tidak harus naik ke tangga karier untuk memiliki pengaruh sosial. Mereka bisa membuat bisnis dan bisnis itu langsung mempunyai pengaruh dan dampak sosial. Shortcut yang manfaatnya bukan untuk finansial dirinya sendiri tapi juga dampak sosial di sekitarnya. (Salli Sabarrang / FT / VP / Image: dok.Cosmo & facebook Marina Kusumawardhani)

 

BACA JUGA: 

Tips Menjadi Social Media Influencer dari Clara Devi

David Beckham Bicara Soal Kekerasan Terhadap Anak

Arifin Putra Bicara Tentang Media Sosial