Mengenal Istilah ‘Lavender Marriage’
Dalam sejarah maupun kehidupan modern, hubungan pernikahan tidak selalu semata-mata dibangun atas dasar cinta atau ketertarikan emosional.
Ada kalanya, sebuah pernikahan lahir karena faktor sosial, budaya, atau bahkan strategi hidup. Nah, salah satu fenomena yang menarik untuk kita bahas adalah ‘Lavender Marriage’, istilah yang mungkin belum terlalu familiar bagi banyak orang.
Akan tetapi, tenang saja, Cosmo babes. Di sini Cosmo akan mengupas definisi, sejarah, hingga fakta-fakta penting mengenai lavender marriage.
Apa Itu Lavender Marriage?
Secara sederhana, lavender marriage adalah istilah yang merujuk pada pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan di mana salah satu atau keduanya sebenarnya merupakan bagian dari komunitas LGBTQ+.
Akibatnya, pernikahan ini terjadi karena beberapa alasan tertentu. Alasan ini biasanya berkaitan dengan tekanan sosial, menjaga citra publik, hingga menutupi orientasi seksual mereka agar sesuai dengan norma yang berlaku.
Istilah “lavender” sendiri dihubungkan dengan warna yang sejak lama diasosiasikan dengan komunitas LGBTQ+.
Fenomena ini banyak ditemukan di era awal abad ke-20, ketika keterbukaan terhadap orientasi seksual masih sangat terbatas.
Baca juga: Mengenal Istilah ‘Performative Male’ yang Sedang Viral, Apakah Hanya Gimmick?
Sejarah Munculnya Lavender Marriage
Fenomena lavender marriage bukanlah hal baru loh, girls. Di Hollywood era 1920-1960, pernikahan seperti ini kerap terjadi di kalangan aktor dan aktris terkenal.
Kala itu, dunia hiburan memiliki standar citra publik yang ketat. Selebriti yang diketahui sebagai gay atau lesbian berisiko kehilangan karier mereka.
Oleh karena itu, lavender marriage menjadi solusi praktis untuk tetap mempertahankan reputasi di mata masyarakat.
Beberapa pasangan selebriti diduga menjalani lavender marriage demi menjaga karier, meski kehidupan pribadi mereka berbeda. Praktik ini kemudian menjadi sorotan ketika masyarakat mulai lebih terbuka dalam membicarakan isu seksualitas.
Baca juga: Apa Arti Istilah ‘Aura Farming’? Mengapa Internet Begitu Terobsesi Menggunakannya
Fakta-fakta tentang Lavender Marriage
1. Saling menguntungkan
Lavender marriage biasanya tidak dibangun atas dasar cinta romantis. Hubungan ini lebih condong pada “perjanjian sosial” atau strategi bersama agar masing-masing pihak dapat menjaga rahasia sekaligus menjalani kehidupan yang lebih aman di mata publik.
Banyak lavender marriage yang sifatnya saling menguntungkan. Misalnya, seorang pria gay menikah dengan seorang wanita lesbian agar keduanya bisa menjalani kehidupan “normal” di mata keluarga dan masyarakat.
2. Bentuk perlindungan diri
Pada era keti8ka diskriminasi terhadap LGBTQ+ masih sangat kuat, lavender marriage sering menjadi tameng agar seseorang terhindar dari stigma sosial, penolakan keluarga, atau bahkan ancaman kehilangan pekerjaan.
Meski terdengar seperti hubungan penuh kepalsuan, tidak sedikit lavender marriage yang bertahan lama.
Pasangan bisa membangun ikatan persahabatan yang kuat dan hidup berdampingan dengan damai, meskipun tanpa romantisme layaknya pasangan heteroseksual pada umumnya.
3. Masih ada di era modern
Meski kini banyak negara lebih terbuka terhadap LGBTQ+, lavender marriage masih terjadi di beberapa tempat. Terutama di wilayah yang konservatif atau memiliki hukum ketat terhadap hubungan sesama jenis.
Dampak Psikologis dari Lavender Marriage
Meski bisa menjadi “jalan keluar” dari tekanan sosial, lavender marriage juga memiliki dampak tersendiri.
Bagi sebagian orang, hidup dalam pernikahan yang tidak mencerminkan diri mereka sebenarnya bisa menimbulkan rasa tertekan, kesepian, atau bahkan kehilangan jati diri.
Namun, bagi yang lain, ini bisa menjadi bentuk kompromi untuk menjalani hidup dengan lebih aman, terutama dalam konteks sosial yang tidak ramah.
Baca juga: Mengenal Istilah Kencan Baru ‘Nanoship’
Apakah Lavender Marriage Masih Relevan?
Dengan semakin terbukanya masyarakat terhadap isu LGBTQ+, lavender marriage kini tidak lagi seumum dulu.
Namun, di daerah yang masih konservatif atau di kalangan keluarga yang menuntut pernikahan heteroseksual, fenomena ini tetap bisa terjadi.
Lavender marriage menjadi cermin dari bagaimana manusia sering kali bernegosiasi dengan lingkungan sosialnya! Antara identitas pribadi dan tuntutan eksternal, ada kompromi-kompromi yang diambil agar seseorang bisa tetap merasa aman…
So, girls, lavender marriage adalah fenomena sosial yang menarik untuk dipahami.
Meski kini keterbukaan terhadap orientasi seksual semakin luas, lavender marriage mengingatkan kita bahwa masih ada individu yang terjebak dalam peran sosial tertentu demi bertahan hidup.
Fakta ini menjadi pengingat penting tentang betapa berharganya ruang aman dan penerimaan dalam masyarakat agar setiap orang bisa hidup sebagai dirinya sendiri.
What’s your thought, babes?
(Fishya Elvin/Images: Irina Iriser, Trung Nguyen, Emma Bauso, Dmitry Zvolskiy, Jasmine Carter, and Ольга Солодилова on Pexels)